Senin, 21 November 2011

Dia yang Melumpuhkan Hatiku

Sebenarnya cerita ini ingin kukirimkan kepadamu wahai engkau yang mampu melumpuhkan hatiku. Cerita ini ingin kuselipkan dalam satu kehidupanmu, namun aku hanya wanita yang tak memiliki keberanian dalam mengungkapkan semua percikan-percikan rasa yang terjadi dalam hatiku. Aku hanya dia yang engkau anggap tidak lebih, aku hanya merasa seperti itu.

Assalamu’alaikum wahai engkau yang melumpuhkan hatiku

Tak terasa setengah tahun aku memendam rasa itu, rasa yang ingin segera kuselesaikan tanpa harus mengorbankan perasaan aku atau dirimu. Seperti yang engkau tahu, aku selalu berusaha menjauh darimu, aku selalu berusaha tidak acuh padamu. Saat di depanmu, aku ingin tetap berlaku dengan normal walau perlu usaha untuk mencapainya.

Takukah engkau wahai yang mampu melumpuhkan hatiku? Entah mengapa aku dengan mudah berkata “cinta” kepada mereka yang tak kucintai, namun kepadamu, lisan ini seolah terkunci. Dan aku merasa beruntung untuk tidak pernah berkata bahwa aku mencintaimu, walau aku teramat sakit saat mengetahui bahwa aku bukanlah mereka yang engkau cintai walaupun itu hanya sebagian dari prasangkaku. Jika boleh aku beralasan, mungkin aku cuma takut engkau akan menjadi “illah” bagiku, karena itu aku mencoba untuk mengurung rasa itu jauh ke dalam, mendorong lagi, dan lagi hingga yang terjadi adalah tolakan-tolakan dan lonjakan yang membuatku semakin tidak mengerti.

Sakit hatiku memang saat prasangkaku berbicara bahwa engkau mencintai dia dan tak ada aku dalam kamus cintamu, sakit memang, sakit terasa dan begitu amat perih. Namun 1000 kali rasa itu lebih baik saat aku mengerti bahwa senyummu adalah sesuatu yang berarti bagiku. Ketentramanmu adalah buah cinta yang amat teramat mendekap hatiku, dan aku mengerti bahwa aku harus mengalah.

Wahai engkau yang melumpuhkan hatiku, andai aku boleh berdoa kepada Tuhan, mungkin aku ingin meminta agar Dia membalikkan sang waktu agar aku mampu mengedit saat-saat pertemuan itu hingga tak ada tatapan pertama itu yang membuat hati ini terus mengingatmu. Jarang aku memandang lelaki, namun satu pandangan saja mampu meluluhkan bahkan melumpuhkan hati ini. Andai aku buta, tentu itu lebih baik daripada harus kembali lumpuh seperti ini.

Banyak lembaran buku yang telah kutelusuri, banyak teman yang telah kumintai pendapat. Sebahagian mendorongku untuk mengakhiri segala prasangkaku tentangmu tentang dia karena sebahagian prasangka adalah suatu kesalahan,mereka memintaku untuk membuka tabir lisan ini juga untuk menutup semua rasa prasangkamu terhadapku. Namun di titik yang lain ada dorongan yang begitu kuat untuk tetap menahan rasa yang terlalu awal yang telah tertancap dihati ini dan membukanya saat waktu yang indah yang telah ditentukan itu (andai itu bukan suatu mimpi).

kamu wahai yang telah melumpuhkan hatiku, kamu yang dengan halus menolak diriku menurut prasangkaku dengan alasan belum saatnya memikirkan itu. Sungguh aku tidak ingin menanggung beban ini yang akan berujung ke sebuah kefatalan kelak jika hati ini tak mampu kutata.

Wahai engkau yang telah melumpuhkan hatiku, tahukah kamu betapa saat-saat inilah yang paling kutakutkan dalam diriku, jika saja Dia tidak menganugerahi aku dengan setitik rasa malu, tentu aku tidak pernah berusaha menjauhimu. Kadang aku bingung, apakah penjauhan ini merupakan jalan yang terbaik yang berarti harus mengorbankan ukhuwah diantara kita atau harus mengorbankan iman dan maluku hanya demi hal yang tampak sepele yang demikian itu.

Aku yang tidak mengerti diriku…

Namun wahai yang telah melumpuhkan hatiku, kadang aku berpikir semua pasti berlalu dan aku merasa saat-saat ini pun akan segera berlalu, tetapi ada ketakutan dalam diriku bila aku melupakanmu... aku takut tak akan pernah lagi menemukan dirimu dalam diri mereka-mereka yang lain.

Wahai engkau yang telah melumpuhkan hatiku, ijinkan aku menutup curahan hati ini dan biarkan waktu berbicara tentang takdir antara kita. Mungkin nanti saat dimana mungkin kau telah menimang cucu-mu dan aku juga demikian, mungkin kita akan saling tersenyum bersama mengingat kisah kita yang tragis ini. Atau mungkin saat kita ditakdirkan untuk merajut jalan menuju keindahan sebahagian dari iman, kita akan tersenyum bersama betapa akhirnya kita berbuka setelah menahan perih rindu yang begitu mengguncang.

Wahai engkau yang telah melumpuhkan hatiku, mintalah kepada Tuhan-mu, Tuhan-ku, dan Tuhan semua manusia akhir yang terbaik terhadap kisah kita. Memintalah kepada-Nya agar iman yang tipis ini mampu bertahan, memintalah kepada-Nya agar tetap menetapkan malu ini pada tempatnya.

Wahai engkau yang sekarang kucintai, semoga hal yang terjadi ini bukanlah sebuah DOSA.

Wassalam..

Jumat, 04 November 2011


Senja Di 26



Malam semakin larut. Udara yang dingin mampu menusuk setiap sendi dan tulangku hingga beku. Detak jam terdengar sangat jelas. Tak mau kalah, binatang malam pun ikut andil. Mereka berpesta ria dibawah cahaya bulan yang benderang.

“sudah selarut ini, aku masih terjaga.” Kataku lirih di pembaringanku.

Entah apa yang aku pikirkan. Malam ini aku tak bisa memejamkan mataku secepat biasanya. Bosan sudah aku membolak-balik tubuhku. Aku terdiam sejenak. Aku putuskan untuk sholat saja pada malam itu.

“allahu akbar.”

Brukk..

Aku terkulai lemas di lantai. Aku masih sadarkan diri. Aku memang merasakan pusing yang berat sekali di kepalaku. Aku sudah sering merasakan pusing seperti ini. Hanya saja aku tak ingin memberitahu ibu. Aku takut beliau khawatir akan keadaanku. Aku tak mau melihat ibuku yang sudah lanjut itu bekerja keras untuk mengobatiku. Aku mencoba bangun secara perlahan. Aku tidak jadi meneruskan sholatku. Aku baringkan tubuhku pada tempat tidur peninggalan ayahku itu. Tanpa terasa aku sudah masuk dalam alam bawah sadarku.

“ayah.. kenapa ayah menangis dan duduk sendiri disini ?”

“nak.. maafkan ayah yah.. ayah pergi terlalu cepat, sehingga kau dan ibumu menjadi susah.”

“tidak ayah.. itu sudah menjadi takdirNya. Kami ikhlas. Ayah tak perlu cemas. Aku pasti menjaga ibu dengan baik .”

Ayahku masih saja menangis dan tak mau beranjak dari tempat ia berdiri.

“ayah.. kenapa ayah terus menangis sambil memandang makam ini ? ini makam siapa ayah ?” tanyaku heran.

Ayah ku tak menjawab pertanyaanku. Ia terus menangis sambil memandang makam itu. aku mencoba melihat nama siapa yang tertera di nisan itu.

Dedi Ramadhan

Bin

Ahmad Ruslan


“astagfirullah.” Kataku kaget.

Aku segera beristigfar sebanyak mungkin. Udara kurasakan sangat panas. Kuseka keringat yang mengalir menuruni wajahku. Aku rasakan jantungku berdetak sangat cepat bak selesai berlari. Kulayangkan pandanganku pada jam dinding tua yang tergantung. Jarum jam itu telah menginjak angka 4, berarti sebentar lagi azan shubuh. Aku masih terdiam bisu. Semua bagian tubuhku terasa sangat berat untuk di gerakkan.

“Ya Allah.. apa benar aku akan menghadapmu segera ?” batinku bingung

***

Pagi itu, setelah aku membantu ibuku mengantarkan barang dagangan di pasar. Aku segera berangkat kesekolah. Jarak antara pasar tempat ibuku berjualan dengan sekolah ku tak begitu jauh sehingga aku tak pernah terlambat ke sekolah jika tiap hari harus mengantarkan ibu terlebih dahulu.

“eh ded.. kamu ga ada setrika di rumah ?” kata teman ku Ahmad yang segera duduk disampingku.

“ada.” Jawabku cepat sambil menatap heran dirinya.

“trus napa tuh muka kusut amat.” Kata ahmad sambil mengarahkan telunjuknya kearah muka ku.

“mana ada setrika wajah. Emangnya kamu punya ?” kata ku sambil tersenyum kecil

“ada.. ntar aku pinjamin.” Sergap ahmad tak mau kalah.

“Songong kamu yah.” Telapak tanganku mendarat di pundaknya cukup kasar. Kami tertawa bersama pagi itu.

Kami tertawa cukup lama, sampai-sampai gigi kami menjadi dehidrasi. Aku dan ahmad memang pasangan serasi. Eits.. maksudnya kita bestFriend. Tiba-tiba kami berhenti tertawa ketika seseorang masuk kedalam kelas yang masih sepi itu. aku yakin sekali dia sudah mendengar tawa kami yang cukup nyaring itu dari luar kelas. Dia masuk tanpa ekspresi apapun. Dia hanya berjalan menuju tempat duduknya yang tepat berada di depan ku. dia meletakkan tasnya kemudian mengeluarkan buku yang dia baca. Aku dan ahmad ingin melanjutkan lagi cerita kami, tapi merasa tidak enak hati jika kami ribut di situ. Akhirnya aku mengajak ahmad ke serambi kelas. Kami berniat bercanda disana.

“kenapa si ded ? setiap ada si dia kamu langsung jaim gitu ?” tanya ahmad heran.

“apaan sih.. ! dia siapa maksudmu ?” tanyaku pura-pura bego.

“alah…” tangan ahmad melayang lembut menghantam pipiku. Aku hanya diam termangu dan menatapnya marah.

“sorry coy.” Katanya ,meminta maaf. Suasana menjadi garing sejak pertanyaan kurang garam itu keluar dari mulut singanya ahmad. Aku jadi merasa tidak senyaman tadi.

“maaf ded, aku cuman pengen tahu ajah kok, apa kamu ada “sesuatu” sama Sheza.” Katanya sambil menatap ku cemas.

“sudahlah Mad, aku tidak ada “sesuatu sama dia.”

Teng..Teng..Tengg

Aku segera meninggalkan ahmad bersamaan dengan bunyi bel masuk itu. didalam kelas aku merasa bosan. Sudah hampir satu jam kami menunggu guru pelajaran Bahasa Inggris itu masuk ke kelas. Tapi tak satu pun tanda-tanda di akan masuk.

“Mad, kita ke mesjid ajah yuk.” Ajak ku

“okeh.”

Aku, Ahmad, dan beberapa teman ku beranjak ke mesjid. Sampai disana aku segera mengambil posisi senyaman mungkin. Membaringkan tubuhku dan menatap luas langit-langit mesjid. Aku kembali teringat akan mimpi burukku semalam. Tak mau berlama-lama memikirkannya aku secepat kilat bangun dari tidurku dan segera berdiri.

“ded.. kenapa kamu ? kesurupan ?” tanya Ahmad.

“bercanda kamu Mad.” Kataku sambil tersenyum nakal.

“mau ceramah lo ded ?” tanya Rudi.

“yah.. lihat ajah ntar.”

Aku naik ke mimbar yang ada di mesjid itu. aku ingin menirukan gaya ceramah ustadz-ustadz lucu yang sedang marak di stasiun televise swasta akhir-akhir ini. aku melakukan ini sebenarnya untuk menghibur teman-temanku yang efek sampingnya aku dapat melupakan mimpi burukku. Aku mulai berceramah. Teman-temanku tertawa lepas. Kami bergembira saat itu. saat teman-teman ku hening dalam tawanya. Kami mendengar suara tawa lain. Eits.. jangan berpikir itu suara mba kunti yang lagi ada di pojokan. Mana ada di mesjid kunti. Teman-teman ku segera membuka tirai yang menjadi hijab antara laki-laki dan perempuan.

Srekk.. Srekk.. * kurang lebih begitulah suaranya

Tampaklah sesosok mahkluk dengan baju putih. * tuh kan bener .. ada mba kunti.

Ya ampun.. jangan panic dulu dong.. udah dibilang lain mba kunti kok, makanya jangan dipotong dulu ah ceritaku. El ala en je u jut . LANJUT.. hahahahaha

Tampaklah sesosok mahkluk berbaju putih abu-abu dengan jilbab panjang yang menjadikannya sangat anggun.

Kalian pasti tahu dong siapa dia ?

Yah bener banget..

Dia adalah Sheza. Aku dan teman-temanku sempat kaget, diam membisu. Hal yang mebuat kami sempat mati suri bukan karena kemunculan Sheza di mesjid. Itu mah hal yang biasa, tapi yang membuat kami sampai kehilangan jantung yang memilih pindah kebagian perut kami adalah gadis itu tertawa. Aku yang hampir tiga tahun sekelas dengan gadis anggun itu tak pernah mendengar ia tertawa.jika beruntung, Hanya sesekali saja aku mencuri senyumnya yang hanya ia lemparkan kepada teman-teman wanitanya. Aku dan teman-temanku masih terdiam hingga tak sadar bahwa Sheza sudah hilang dibalik hijab. Aku kemudian turun dari mimbar dan menghampiri teman-temanku yang masih mematung, satu per satu dari mereka aku tepuk sambil berkata “permen karet” yang akhirnya mereka dapat bergerak kembali.

Ceileh… sangkanya lagi main el u pe u es. LUPUS.. hahahaha :D

“kalian lihat kan tadi teman-teman.” Kata ku heran

“iyalah.. gila bener, ini edisi perdana nih..kita orang pertama.” Kata Ahmad melanjutkan.

“tiga tahun yang dia lakuin cuman diam, menjawab seperlunya dan baca buku, tapi kali ini tce tce tce…” timpal rudi.

“hemh.. kita balik yuk ke kelas, aku penasaran banget pengen lihat ekspresi Sheza.” Ajakku cepat.

***

“kalian dari mana !” bentak pak dedi

“dar.. dar.. dari mesjid pak.” Kata ku terbata-bata. * yaeyalah terbata-bata masa tersemen-semen.. hahahha ada-ada ajah. Lanjutttt..

“iyah.. pak sumpah.” Kata Ahmad meyakinkan.

“ngapain kalian di mesjid!” lanjut pak dedi mengintrogasi kami

“yah.. kami solat dhuha lah pak.” Jawab rudi santai

“kalian..? jawab pak dedi penuh ragu.

Kami hanya bisa terdiam. Pak dedi belum mau memberikan izin supaya kami bisa masuk.

“maaf pak.. mereka memang ke mesjid, saya saksinya.” Kata Sheza mantap.

“tuh.. kan pak.. kita beneran ke mesjid. Jadi kita boleh masuk kan sekarang ?” kata dedi semangat.

“baiklah.. bapak baru percaya jika Sheza yang bilang.” Kata pak dedi luluh.

Dedi , Ahmad, dan Rudi segera berjalan ke meja mereka. Belum sampai mereka bernapas lega. Tiba-tiba

*kebakaran.. Kebakaran..

*ya enggak lah.. ngaco ih..

Tiba-tiba saja Sheza membuat ketiga orang temannya tadi kembali mati suri.

“maaf pak.. mereka bukannya sholat dhuha, tapi bercanda.” Kata sheza tanpa ragu sedikit pun.

Pak dedi pun kembali memperlihatkan tampang singanya. Ia segera menyuruh dedi dkk keluar kelas dan berjemur di tiang bendera sampai jam pelajarannya usai. Tampaknya dedi dkk sangat kesal sekali pada Sheza. Mereka keluar dengan mata penuh amarah menatap Sheza. Sheza yang melihatnya segera menunduk.

“baiklah kita lanjutkan pelajaran kita.” Seru pak dedi.

SEMENTARA ITU

“sial.. kok ada orang sejujur Sheza sih ! Sial banget aku sekelas sama dia!” ucap Ahmad kesal.

“iyah.. udah bagus-bagus kita selamat dari pak dedi, eh.. mulutnya malah cuap-cuap kaya bebek.” Timpal rudi

“udah lah.. kalian ini kenapa sih, terima ajah, toh emang bener kan kita ngelakuin itu tadi, Sheza ga salah. Lagi pula hanya berdiri sampai dua jam kok, itu kan ga masalah buat kita. Cuaca juga bersahabat. Mendung-mendung gimanaaaa gitu.” Kata dedi sok bijak

“alllllahhhh.. loe kenapa ded ? sok bijak banget sie.. pake belain tuh cewe rese, awas ajah, ntar lo ada kesempatan aku balas dia.” Kata Ahmad kesal

“eits.. pelan-pelan dong ngomongnya.. muncrat nie di muka ku.” kataku kesal sambil mengusap air liur yang mampir diwajahku.

“sotoy.. loe yah.. jangan sembarangan dong.. mana ada gue muncrat. Tuh lihat.” Kata Ahmad membela diri. Aku lihat bibirnya masih manyun bak tante Omas.

*hehehehe maaf tante.. bercanda.. J

“gerimis..” ucapku pelan.

“haduh.. bentar lagi hujan deras ni kayanya ?” kata rudi cemas

“pindah yuk.” Sergap Ahmad

“kita kan masih dihukum.” Kataku mengelak.

“ah… stress loe.. ntar lagi tuh hujan deras, masa kita mau hujan-hujanan. Ayo pergi.” Ajak Ahmad sambil menarik tanganku.

“kalian ajah, aku tetap disini.” Kataku sambil melepas paksa tangan Ahmad yang memegang ku keras.

“ah.. terserah loe.. gue mau berteduh. Yuk rud.”

Tak lama mereka pergi, hujan turun sangat deras. Ahmad dan Rudi yang berdiri di tempat teduh di belakang dedi meneriakinya.

*maling… maling.. maling…

*haduh ga nyambung… bukan maling tahu..heheheh : D lanjut…

“Ded.. Dedi.. Woi.” Teriak Ahmad

Dedi hanya menoleh dan tersenyum kecil.

“gila tuh anak, badannya sudah gemetaran trus wajahnya juga sudah pucat, masih juga berdiri disitu.” Kata Ahmad kesal

“kita tarik ajah dia Mad.” Ajak rudi

“baik, ayo.”

Tiba-Tiba…

*pasti kebakaran lagi..

*bukanlah.. : D lanjut..

Brukkk…

“yah.. kan udah aku bilang ded, ga usah hujan-hujannan, ga nurut sih kata mama ?” kata Rudi lepas

“gila loh.. masih aja bercanda, cepat kita bawa ke UKS.” Kata Ahmad yakin.

***

JAM ISTIRAHAT

Aku masih terkapar di ruang UKS. Badanku terasa dingin sekali. Lagi-lagi aku kembali merasakan pusing yang sangat hebat itu.

SEMENTARA ITU

“za.. kamu sudah tahu belum tentang dedi dkk.” Kata ratih temanku

Aku hanya menggeleng sambil menatapnya penuh tanya.

“si dedi pingsan , gara-gara di tetap ngotot ngejalanin hukuman dari pak dedi tadi.” Lanjut ratih

“sungguh ?” kata ku tak percaya.

Ratih mengangguk hebat

“sekarang mereka di mana ?” tanya ku cepat

“UKS.” Jawabnya singkat

Sheza segera menuju UKS sekolah. Dia merasa bersalah karena membuat mereka dihukum oleh pak Dedi. Dari kejauhan Ahmad yang melihat Sheza menampakkan wajah marah luar biasa. Sheza yang melihatnya menjadi ngeri sendiri tetapi ia coba mendekati mereka.

“assa.” Kalimat Sheza terpotong oleh suara besar Ahmad

“eh.. loe tuh gila yah ! Jujur sih Jujur ! tapi lihat keadaan dong !” bentak Ahmad

“sabar fren.” Kata rudi mencoba menenangkan.

Mereka bertiga terlibat dalam pembicaraan yang sangat serius. Terlihat jelas bahwa Ahmad sangat marah. Mimik muka Sheza juga terlihat merasa bersalah. Hari itu di depan ruang UKS mereka bersidang. Hanya karena bunyi bel masuk saja mereka harus berhenti. Tampaknya Ahmad dkk tidak memaafkan Sheza yang berusaha meminta maaf pada mereka.

***

Minggu, 26 Juni 2011

Langit tampak mendung. Udara kurasakan sangat dingin sekali. Tubuhku ini sudah tak dapat bergerak lagi. kulihat ibu yang dengan setia menemaniku. Hari ini ibu rela tidak berjualan di pasar karena menemaniku di pembaringanku. Tangannya yang sudah tidak lembut lagi mendarat di dahiku. Aku rasakan energy cinta yang mengalir lembut. Aku tatap matanya yang terus berair. Aku sambut tangan ibuku yang lain dan memegang erat. Ibuku kaget dan langsung menatapku. Aku tatap ibuku dengan senyuman termanisku.

“ibu.. aku sangat mencintaimu.” Kataku dengan mata berair

“dedi.. ibu pun sama. Ibu lebih mencintaimu sayang.”

Air mata ibuku mendarat di tanganku yang ia genggam erat sambil diciuminya.

“ibu.. jika dedi sudah tidak..”

“tolong.. sayang.. jangan berkata seperti itu. jangan tinggalkan ibu yah.. kau pasti sembuh.”

“tidak bu.. ini kenyataannya..maafkan dedi yang menyembunyikannya selama ini dari ibu.” Kataku perlahan.

“sayang.. apa.. apa yang kau sembunyikan dari ibu, nak..”

Aku terdiam lama. Tatapanku kosong ke langit-langit rumahku. Desah nafasku terdengar jelas.

Hening..hening.. hening…hening..hening…hening..hening..hening..hening..hening..hening..hening..hening

“kanker darah ibu. Aku menderita kanker darah.” Kataku sedikit tidak tega

Saat itu tumpahlah seluruh rasa yang berkecamuk di hati ibuku. Aku merasakannya jelas saat ia memeluk erat diriku. Hanya isak tangis yang aku dengar darinya. Aku sangat paham keadaan ibuku sekarang. Lama. Lama sekali ibu memelukku. Aku pun begitu. Aku merasa inilah hari terakhirku bersama ibuku.

“ibu.. maafkan dedi yang membuat ibu sedih.” Kataku kembali

“kenapa… kenapa tidak beritahu ibu dari awal. Ibu akan lakukan apapun untukmu sayang.meski ibu harus relakan nyawa ibu untukmu.” Katanya pilu

“justru itu bu, aku tidak memberitahu ibu karena ibu rela mati untukku. sementara aku tak ingin ibu melakukannya.”

Diammmmm….diiiaaaaammmmmmmmm.

“bu.. maafkan dedi. Maafkan bu.. maafkan.. aku sangat mencintai ibu. Sangat mencintai ibu.”

SEMENTARA ITU

“…..oh ya tih.. kamu tahu dimana rumahnya dedi.” Kata sheza

“hemh.. ada apa.. kok kita jadi bahas dedi ?” tanyanya heran.

“aku.. merasa bersalah padanya. Aku ingin minta maaf padanya. Kamu kan dengar kemaren Ahmad dan Rudi bilang bahwa dedi sakit. Aku yakin dia sakit gara-gara kehujanan saat itu.” Sheza memohon.

“baiklah.. besok sepulang sekolah kita kerumahnya.” Tawar ratih

“tidak.. tih.. aku ingin sore ini saja. kau kan tahu ayah ku itu tidak mengizinkanku untuk pergi setelah pulang sekolah. Lagi pula aku kan pakai mobil jemputan. Pasti ayah tahu jika aku tidak segera pulang. Akan habis aku dimarahinya.” Tawar Sheza kembali.

“maaf Sheza.. aku tidak bisa jika sore ini.” katanya agak berat.

“aku tak apa pergi sendiri, tapi beritahu aku alamat dedi dimana ? pinta Sheza cepat.

“ hemh.. Jl Sudirman No: 26 Rt 06, Marconi.” Kata ratih Cukup jelas

“okeh.. thanks yah ratih.. assalammualaikum.”

Tut..tut..tut..tut..

Minggu, 26 Juni 2011 Pukul 15:00 Wita

Sheza pergi mencari rumah dedi. Ia tampaknya tak butuh waktu lama untuk menemukannya. Ia berhenti disebuah gang yang tidak dapat dilalui sepeda motor. Gang itu sangat kecil. Sheza terpaksa menyandarkan sepeda motornya di samping gang itu.

“22..23…24..25..27..28..29...” ucap Sheza lirih

Matanya terus mencari-cari rumah bernomor 26. Langkah demi langkah ia lalui untuk mencari rumah dedi.

“lelah juga..” ucap sheza pelan

Tanpa sengaja sheza mendengar suara tangis seorang wanita. Ia menolehkan kepalanya ke rumah yang ada di belakangnya itu. Rumah itu kecil dan sudah tua. Rasa penasarannya menumpuk di dadanya. Ia segera berdiri. Ia ingin tahu apa yang terjadi didalam sana.

Tok..tok..tok..

Tak ada jawaban dari dalam. Suara tangis itu tiba-tiba berhenti.

“hemh.. mungkin aku hanya salah dengar saja.” ucap Sheza

Ia memutar tubuhnya untuk kembali duduk di depan rumah itu. tapi ia kembali mendengar suara tangis itu. Sheza mengurungkan niatnya. Ia kembali mendekati pintu rumah itu. ia tidak mengetuknya. Ia tempelkan daun telinganya di pintu itu.

“benar.. benar.. didalam ada orang yang lagi menangis.” Gumamnya

Sheza kembali mengetuk pintu itu. kali ini usahanya membuahkan hasil.

Kreikkkk… Cittttt

Tampaklah seorang wanita seumuran tanteku (kakak ibuku). Matanya bengkak dan berair.

“permisi bu, saya.. saya.. tidak sengaja mendengar suara tangisan dari dalam. Maka itu saya mengetuk rumah ibu. Barangkali saya bisa membantu ibu.” Ucap Sheza ragu

Ibu itu hanya diam. Aku melihat tatapannya yang kosong. Aku mendekatinya. Ia masih diam saja. saat aku berada di dekatnya..

Brukk..

“astagfirullah.. ibu..” ucap Sheza spontan sambil membungkuk dan berusaha menyadarkan ibu itu. ibu itu tetap tidak bangun. Sheza berlari keluar untuk mencari pertolongan. Tak lama kemudian beberapa warga menghampirinya. Mereka segera mengangkat ibu itu kesebuah kamar kecil yang berada di dekat dapur. Kamar itu sangat sederhana.

“terima kasih pak.” Kata Sheza pada salah satu warga.

Saat semua warga meninggalkan rumah itu, Sheza beranjak keluar untuk mengambil minyak angin yang dia bawa di Jok motornya. Sekembalinya, Sheza tak menemukan ibu itu di kamarnya. Ia terus mencari-cari dimana ibu itu. matanya tertuju pada sebuah ruang kecil di depannya. Ruang itu tidak berpintu. Hanya saja dibatasi oleh korden yang sudah tua. Langkah sheza sangat yakin. Ia membuka secara perlahan korden itu. ternyata benar. Disana ia menemukan ibu itu sedang duduk di depan sebuah tempat tidur. ibu itu menangis. Tapi tidak begitu terdengar olehku. Aku berjalan perlahan mendekatinya.

“bu..” kataku yakin

Ibu itu menoleh cepat kearahku dengan wajah tanpa ekspresi.

“maaf jika saya mengagetkan ibu.”

Diam…diam..diam..diam

Mataku tertuju pada benda yang ditutupi kain panjang bercorak batik di atas tempat tidur itu. benda itu seperti manusia. Pikiranku langsung saja menerka bahwa itu adalah orang mati.

“astagfirullah.” Ucapku tiba-tiba dari lamunanku.

Ibu itu tak menghiraukan keberadaanku. Ia terus menangis sambil menatap benda itu. aku mencoba mendekatinya dan menenangkannya.

“maaf.. ibu, jika saya ikut campur. Tapi saya merasa heran, kenapa ibu terus menangisi ini (sambil menunjuk benda itu).” ucap Sheza heran

Ibu itu tak menggubris pertanyaanku. Ia terus saja menangis. Aku dekati benda itu. aku ingin melihatnya. Saat aku ingin membuka kain penutupnya ibu itu pun tak melarangku. Ibu itu bak patung yang bisa menangis. Aku tersentak hebat. Darahku berhenti mengalir. Jantungku pun berhenti berdetak. Sendiku tak mampu lagi menopang tubuh ini.

“de…di..”

Langit hitam dan senja tak secerah kemarin.

Selesai..

Rabu, 02 November 2011

Love U Coz ALLAH

Aku Menyukaimu
Bukan karena kau dekat denganku..

Aku menyukaimu..
Bukan karena senyummu..

Aku menyukaimu..
Bukan karena aku sering melihatmu..

Aku menyukaimu..
Bukan karena kau baik padaku..

Tapi..

Aku menyukaimu karena kau dekat dengan Tuhanmu..

Kita bertemu karena ALLAH.. dan Jika kita berpisah nanti itu juga karena ALLAH