Selasa, 18 Desember 2012

Mahar Terindah Part 1 : Ar-Rahmaan


Ku jangkau handphone yang letaknya tak jauh dariku. Dering yang terus menerus terdengar itu membuat aku semakin ingin tau siapa pemilik suara dibalik deringan itu. Tak ada nama bahkan nomor yang tertulis di layar handphone ku. Aku mulai geram karena telpon inilah yang terus mengganggu ku seminggu terakhir ini.
“Assalammualaikum..! kataku agak sedikit keras
Tak ada suara yang menyahut salamku. Hening di kejauhan sana.
“Maaf.., anda siapa ? tolong jangan ganggu saya..” pintaku sedikit keras sambil ku putuskan sambungan telponnya.
Aku beristigfar sambil menenangkan keadaanku. aku merasa kesal sekali, telpon itu selalu berbunyi tepat pukul 03.00 dini hari dalam seminggu terakhir ini.
“apa yang sebenarnya dia inginkan ?” tanyaku dalam hati
Aku segera beranjak dari ujung tempat tidurku untuk bertahajjud. Setelah aku keluar dari tempat wudhu, dering itu terdengar lagi dan aku sangat yakin itu dari orang yang sama. Segera ku berlari kecil menuju suara dering yang ada di meja samping tempat tidurku. Dugaanku benar. Tanpa ragu lagi ku reject panggilannya dan ku matikan handphoneku.
“Ya Allah..maukah kau beritahu aku siapa yang sedang mengganggu ku itu ? aku benar-benar merasa terusik. Gara-gara telpon itu tahajjudku terasa tak khusyuk. Ya Allah.. sesungguhnya Engkau Maha Tahu dan aku tidak Tahu.” Pintaku dalam doa
Aku beranjak ke arah meja belajarku untuk mengambil alquran kecil berwarna pink lengkap dengan terjemahannya. Alquran itu adalah alquran terjemahan pertamaku yang kubeli dengan uang hasil mengajar privat ku sebulan yang lalu. Selama ini jika mengaji aku hanya membaca saja tanpa mendalami makna yang ingin disampaikan karena aku tak punya quran terjemahan itu. kini aku telah memilikinya dan benar-benar membuatku takjub akan isinya.
Aku mulai membuka surah ke 55 dari Alquran kesayanganku itu. aku selalu membacanya setalah tahajjudku. Surah ini mengajarkan kita akan kepemurahan dzat yang memiliki raga ini dengan memberikan nikmat yang tak terhingga bagi kehidupan dunia dan akhirat kita. Dia mengajarkan manusia berbicara,Pohon- pohonan dan tumbuh-tumbuhan tunduk kepada –Nya, dan seluruh alam merupakan nikmat-Nya terhadap ummat manusia.
“Ar-rahmaan. ‘Al Lamal Quran. Kholakol insaan. ‘Allamahul bayaan…
Tak terasa bulir bening mulai mengalir di pipiku ini. memberikan sentuhan rasa hangat dan asin. Aku mengusapnya dengan tissue yang memang sudah aku sediakan. Aku tahu karena aku pasti akan menangis ketika membaca surah ini sampai aku menyelesaikannya. Tak jarang aku baru bisa mengakhiri bacaanku sampai waktu shubuh karena terlalu mendalami surah tersebut.
Aku kembali untuk memperbarui wudhuku yang tidak batal untuk segera menunaikan ibadah sholat shubuh yang bagi sebagian orang sangatlah gampang ditinggalkan. Mereka lebih memilih untuk tidur dari pada memenuhi panggilan Sang Maha Kasih.
“Safa.” Suara ibu yang memanggilku dari luar. Aku segera membukakannya pintu dan mengucapkan salam padanya.
“Kau menangis lagi Safa ?” Tanya ibuku yang sudah sangat tahu penyebab aku menangis. Aku hanya mengangguk dan mengiyakan pertanyaan ibu.
“Semoga kau selalu dalam kasih sayang Yang Maha Rahman.” Permintaan ibuku yang tak asing lagi ku dengar. Aku mengamini doa ibu dan segera menutup pintu kamarku.
Di luar sana embun pagi sudah turun membasahi seluruh isi bumi. Tak pernah absen setiap harinya. Tak pernah pilih kasih dalam berbagi kesejukan. Begitu juga dengan rasa syukurku yang tak pernah hilang saat shubuh telah datang. Betapa Maha Rahman nya Allah yang masih memberikan nikmat yang begitu dahsyat pada semua Hambanyanya tanpa melihat apakah dia taat atau ingkar.
“Fabiiayyi alaa irobbikuma Tukadziban.” Ucapku lirih sambil menutup shubuh hari ini dengan ketakjuban luar biasa.

Rabu, 25 Januari 2012

Jika Ustadz Jadi Wasit

Di suatu pagi, di hari raya pekanan umat Muslim, yaitu hari jum’at, saya dan teman-teman saya berkumpul di sebuah lapangan besar di belakang kampus. Tidak lain dan tidak bukan, kami berkumpul untuk bertanding sepak bola melawan kelas I’dad Lughawy A (program persiapan bahasa prakuliah). Liga kampus tahun ini baru bergulir kemarin pagi. Seperti biasa, saya ditunjuk oleh Heru Fransisco, penyerang handal asal Padang, untuk menjadi goalkeeper alias penjaga gawang. Sang wasit, Muhajir Ali, yang ditemani dua hakim garis memberi isyarat tanda kick off dimulai. Akhirnya, pertandingan 2×30 menit itu pun dimulai..

Di sela-sela pertandingan, beberapa teman kami yang sedang menunggu giliran tampil sedang mengobrol di kiri gawang. Aku pun ikut nimbrung tanpa basa-basi. Pembicaraannya unik, kami membayangkan bagaimana jika seorang faqih jadi wasit. Tidak hanya itu, dia menerapkan pengetahuan fiqihnya dalam peraturan sepak bola. Sehingga akan banyak diskusi dan perdebatan antar pemain maupun wasit dalam berbagai masalah di dalam pertandingan tersebut.

Obrolan ringan yang dipimpin Hidayatullah, teman sesama wong kito, dan Irfan Hariyanto, orang Jambi yang merantau ke Jawa tersebut memberikan saya sedikit inspirasi untuk membuat artikel ini. Namun saya tidak akan memaparkan perdebatan panjang yang dibahas ulama fiqih seperti apakah lutut laki-laki adalah aurat, dan permasalahan polemik lainnya. Saya hanya akan sedikit menyinggung pelanggaran-pelanggaran syar’i yang banyak terjadi dalam sebuah pertandingan sepak bola dengan permisalan-permisalan berupa dialog antar wasit dan selainnya.

***
Jika ustadz jadi wasit, maka sebelum pertandingan, sang ustadz memberikan kultum (kuliah terserah antum, bukan kuliah tujuh menit) di hadapan para pemain dan para suporter kedua kesebelasan,
Wasit : “Saudara, semoga Allah senantiasa menjaga kalian. Izinkan sejenak saya sebagai wasit memberikan sedikit wejangan kepada kalian. Dekatkanlah selalu diri kalian kepada Allah Yang Maha Tinggi. Jagalah lisan kalian dari saling mencela, suporter mencela suporter, suporter mencela pemain, pemain mencela pemain, pemain mencela wasit. Karena siapa yang mampu menjaga lisannya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjamin surga baginya. Subhanallah! Bukankah surga adalah cita-cita kita bersama?”
*Para pemain dan para penonton mengangguk takzim.

Jika ustadz jadi wasit, maka ketika seseorang hendak menyogoknya,
Wasit : “Bertakwalah engkau, wahai hamba Allah! Tidakkah engkau tahu bahwa Rasulullah melaknat orang yang menyuap dan disuap?!
Fulan : “Bukankah ini suatu perbuatan tolong menolong?”
Wasit : “Dengarkan! Allah Ta’ala telah berfirman yang artinya, “Dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran. Bertakwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” [QS. Al-Maidah: 2]

Jika ustadz jadi wasit, maka ketika seorang pemain marah-marah karena gagal mencetak gol,
Wasit : “Janganlah engkau marah karena marah adalah batu berapi yang dilemparkan setan ke dalam hati manusia. Orang yang kuat bukanlah dia yang mampu mengalahkan musuh. Namun orang yang kuat adalah dia yang mampu menahan marah ketika dia bisa melampiaskannya. Jika engkau marah, maka berta’awwudz-lah (mengucapkan: ‘Audzubillahi minasy syaithanir rajiim). Dan jika suatu hal yang tidak engkau sukai menimpamu, maka katakanlah, “Qoddarullahu wama sya-a fa-’al (artinya: Allah sudah mentakdirkan segala sesuatu dan Dia berbuat menurut apa yang Dia kehendaki).”
Pemain : “A’udzubillahi minasy syaithanir rajiim (artinya: Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk).Terima kasih, wasit. Sekarang hatiku lebih tenang dan siap untuk mencetak gol!”

Jika ustadz jadi wasit, maka ketika seorang pemain hendak minum,
Wasit : “Sebutlah nama Allah untuk meminta keberkahan kepada-Nya. Minumlah dengan tangan kanan karena setan minum dengan tangan kiri. Janganlah boros, karena orang yang boros adalah saudara setan. Hendaklah kamu minum dalam keadaan duduk dan pujilah Allah atas nikmat yang telah Dia berikan untukmu.”
Pemain : “Bismillah. Gluk..gluk.. Alhamdulillah. Thanks, sit. Sekarang dahaga gue udah hilang.Gue akan bermain lebih semangat lagi.”

Jika ustadz jadi wasit, maka ketika dua orang pemain bersitegang dan terlibat adu mulut,
Wasit : “Tenang, tenang. Janganlah berkelahi. Bukankah mukmin itu bersaudara? Sudah selayaknya bagi seorang muslim jika melakukan suatu kesalahan kepada saudaranya untuk meminta maaf. Dan hendaknya seorang muslim memaafkan kesalahan saudaranya.”
Pemain A : “Maafkan saya, kawan. Saya tadi tidak sengaja menyikutmu.”
Pemain B : “Ia, maafkan saya juga. Saya terbawa emosi sehingga saya menghardikmu.”
*Bejabat tangan lalu berpelukan
Wasit : “Indah, bukan? Jika suatu ikatan dilandasi syari’at Islam yang begitu mulia.”

Jika ustadz jadi wasit, maka ketika seorang pemain ketahuan melakukan diving dengan sengaja,
Wasit : “Saudara, janganlah Anda berpura-pura terjatuh untuk mendapatkan keuntungan bagi tim Anda dan merugikan tim lawan. Hal itu tidak lain adalah dusta dan itu tercela. Bermainlah secara sportif, karena itu lebih dekat kepada takwa. Kejujuran adalah jalan menuju surga sedangkan dusta adalah jalan menuju neraka.”
Pemain : “Maafkan saya, sit. Saya berjanji tidak akan mengulanginya kembali.”

Jika ustadz jadi wasit, maka ketika pertandingan telah usai,
Priiit, priiit, priiit
*Peluit tanda pertandingan telah berakhir terdengar
Wasit : “Terima kasih kepada kedua tim yang telah menunjukkan performa terbaik sebagai seorang muslim dalam permainannya hari ini. Semoga dengan olahraga ini, fisik kita semua semakin bugar. Sehingga kita semakin kuat menjalankan perintah-perintah Allah. Kepada tim yang kalah, diharapkan pekan depan menyetor 5 buah hapalan hadis dari kitab Bulughul Maram karya Al-Hafizh Ibnu Hajar. Dan agar dosa dan kesalahan yang terjadi di dalam pertemuan kita kali ini dihapuskan oleh Allah, maka hendaknya kita membaca doa Kaffaratul Majlis: Subhaanakallaahumma Wabihamdika Asyhadu allaa Ilaaha illa Anta Astaghfiruka wa Atuubu Ilaika.”

Kamis, 19 Januari 2012

Demi Cinta Suci


Pernah hatiku luka pedih karena dicalari cinta penuh duri

Lemas aku dalam dilema kata janji manis sungguh tak bermakna

Mencarimu kasih bagai mencari mutiara putih

Walau kedasar lautan sanggup ku selami

Namun tak percaya apa yang telah aku jumpai

Kau sebutir pasir tak berharga

Demi cinta yang suci

Ku rela korbankan kepentingan diri demi sinar bahagia

Kuhambakan diri pada-Nya yang Esa

Baru kini kurasai nikmatnya cinta yang suci

Tiada terbanding dengan cinta yang kau beri

Ranjau yang berduri aku tabah menempuhnya

Menyubur iman di dalam jiwa

Demi cinta hakiki

Ku sanggup atasi apa yang terjadi

Apalah arti cinta suci andai janji-janji sering dimungkiri

Apalah arti cinta murni andai kata-kata sering didustai


Rabu, 18 Januari 2012

Di Hati Ini Hanya ALLAH yang Tahu


Ku pendamkan perasaan ini… Kurahasiakan rasa hati ini…Merindukan kasih yang berputik tersembunyi didasar hati …Kumohonkan petunjuk Illahi..Hadirkanlah insan yang sejati… Menemani kesepian ini mendamaikan sekeping hati.. Ooh Tuhanku berikanlah ketenangan abadi untukku menghadapi resahnya hati ini mendambakan kasih insan yang kusayang.. Di hati ini hanya ALLAH yang tahu …Di hati ini aku rindu padamu.. Tulus sanubari menantikan hadirmu.. Hanyalah kau pria pilihanku..


Senin, 02 Januari 2012

Dia Pemilik Suara Adzan yang Merdu Itu


Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian[1035] diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nuur : 32 )

“hal terpenting selanjutnya adalah dengan menikah kita sudah mampu menyempurnakan separuh agama kita.” Ustadz itu melanjutkan ceramahnya.

Aku menangis mendengar apa yang ustadz itu katakan. Bagaimana tidak, usia ku sudah hampir 27 tahun, tetapi aku belum juga menikah. Aku belum mampu menyempurnakan separuh agamaku. Aku pun belum mampu mengikuti sunnah Rasulku itu. Aku jadi teringat pada ibuku. Ibuku selalu bertanya perihal kapan aku akan menikah. Jika ditanya seperti itu aku hanya mampu menjawab dengan jawaban pasrah ditambah dengan alasan sibuk bekerja. Terkadang ibuku sudah menasehatiku untuk tidak terlalu keras bekerja. Sampai-sampai kalimatnya yang keluar dari mulutnya adalah harapan yang sangat menusuk hatiku. Ibu bilang ia ingin segera melihatku menikah sebelum ia meninggal. Air mataku semakin tak terbendung.

Sore itu, usai sholat Ashar berjamaah di Mesjid Agung At-Taqwa. Aku berniat untuk ke toko jilbab. Aku ingin membelikan jilbab buat ibuku yang berulang tahun besok. Aku ingin memberikannya sebagai hadiah.

Nampaknya langit tak berteman denganku. Tiba-tiba saja hujan turun dengan deras sekali. Aku terpaksa harus menunggu sejenak di mesjid itu. Aku mengambil posisi paling stategis, yaitu di bagian paling belakang shaff perempuan. Disampingnya ada jendela kaca yang langsung kearah jalan. Aku melihat rintik-rintik hujan itu jatuh satu per satu di kaca jendela mesjid. dan kala itu ide-ide ikut membasahi pikiran ku. aku pun membuka notebook ku untuk menuangkan ide-ide itu dalam tulisanku.

Tanpa terasa hujan sudah berhenti. Saat itu sudah hampir masuk waktu magrib. Akhirnya aku merubah niatku untuk pergi ke toko jilbab. Aku ingin sholat magrib berjamaah dulu lalu pergi ke toko jilbab.

“Allahu akbar Allahu Akbar” adzan magrib berkumandang.

“Adzan yang sangat merdu sekali.” Batinku

Aku menjadi sangat ingin tahu siapa sang pemilik suara adzan semerdu itu. aku ada di barisan shaff wanita paling depan. Jamaahnya pun tak banyak. Hanya sekitar 5-8 orang saja di shaaf wanita. Di mesjid itu, hijab pemisah antara shaff perempuan dan laki-laki adalah sebuah korden saja. aku sibak korden itu, sehingga terlihat sedikit celah ke shaff laki-laki. Akupun dapat melihat pemilik suara adzan yang merdu itu. tetapi aku hanya bisa memandangya dari belakang saja. dan aku hanya bisa memastikan bahwa ia seumuran denganku. sempat terbersit aku ingin menikah dengan sosok sepertinya.

“aamiin.” Batinku.

Usai sholat, aku tidak mengikuti ceramah yang dibawakan sang Imam, karena aku tidak ingin toko jilbabnya tutup dan aku gagal memberikan hadiah untuk ibuku besok.

Sekitar 15 menit kemudian, aku sudah sampai di toko Jilbab kesayangan ibuku itu. Toko itu sangat ramai dari biasanya. Mungkin karena tulisan yang terpajang di depan toko.

“DALAM RANGKA HARI IBU.. KAMI MEMBERIKAN DISKON 50 %.. BURUAN !!”

“apa mungkin masih diskon ? padahal hari ibu sudah 5 hari yang lalu.” Batinku.

Toko itu terasa sedikit panas. Mungkin karena hampir semua bagian kosong di toko itu tertutupi oleh pembeli. Pembelinya pun tidak hanya wanita tetapi para lelaki juga ada. Mereka senantiasa menemani istri mereka berbelanja. Ada juga yang sekedar menemani kekasihnya berbelanja. Ada juga yang hanya mencoba-coba dan tidak berniat membeli.

Aku segera menuju rak jilbab yang menjadi kesukaan ibuku. Untung saja disana tidak terlalu padat peminatnya. Aku dapat melihat-lihat dan memilih yang cocok buat ibuku.

“sepertinya yang ini cocok. Sederhana ,bahannya cukup lembut, dan sepertinya tidak panas jika dipakai.” Lirihku

Tanpa berlama-lama, aku segera menuju kasir untuk membayarnya.

“ini mba.” Kataku sambil menyerahkan jilbab yang ku beli pada si mba kasir.

“terima kasih atas kunjungannya.” Kata si mba kasir sambil menyerahkan kantong jilbab dan uang kembaliannya.

“maaf mba, kembaliannya kelebihan.” Kataku sambil menunjukkan uang kembalian yang masih ada di genggamanku itu.Awalnya aku membayar dengan uang satu lembar seratus ribuan, dan ternyata menerima kembaliannya sebesar lima puluh ribu seratus rupiah. Mba kasir itu pun tersenyum padaku dan mengatakan padaku bahwa ada diskon 50 % pada harga jilbab yang aku beli.

“ternyata benar, ramai gara-gara diskon itu.” batinku sambil berlalu meninggalkan toko itu. aku pulang dengan perasaan lega dan senang. Aku jadi tidak sabar ingin memberikan kado ini pada ibuku.

Usai sholat shubuh berjamaah dengan ayah dan kakak ku. aku mengajak mereka untuk berdiskusi sebentar mengenai perayaan ultah ibuku yang akan kami rayakan dengan kue ultah dan kado-kado istimewa tentunya.

Seperti biasanya ibu ku langsung kembali ke dapur untuk menyiapkan sarapan pagi. Biasanya aku, kakak, dan ayah sudah punya agenda masing-masing setelah sholat shubuh. Jadi ibuku memang memasak sendiri. terkadang jika aku tidak mengerjakan pekerjaan kantorku. Aku lah yang membantu ibuku meyiapkan sarapan. Sedangkan kakak ku, yang dia lakukan adalah jogging sekitar perumahan. Mengurusi kebun dan mobil adalah kerjaan ayahku setelah sholat shubuh.

Tetapi pagi ini, ada sedikit perubahan scenario kegiatan. Aku , kakak, dan ayah tidak muncul sampai sarapan pagi sudah siap terhidang di meja. Kami semua bersembunyi. Kami memantau dari jauh.

“kasihan sekali ayah, ibu kebingungan mencari kita.” Bisikku pada ayah.

“tenang saja, kita akan keluar setelah ibumu duduk terdiam di bangku itu setelah tak menemukan kita dimana-mana ?” jelas ayahku.

“kemana ayah dan anak-anak ya ? tidak biasanya mereka seperti ini.” kata ibuku kebingungan.

“sekarang saatnya kita beraksi.” Ajak ayahku.

Dari belakang ibuku kami berjalan perlahan. Kami tidak berniat mengagetkannya. Ayahku sudah siap menerbangkan pesawat yang ia design sangat cantik. Pesawat itu mendarat tepat di depan ibuku. ibuku membacanya dan menoleh kearah kami berdiri.

“happy birthday to you”

“happy birthday to you”

“happy birthday.. happy birthday”

“happy birthday to you.”

“tiup dong ma lilinya.” Kata ayahku

“yeeeee.” Sorakku dan kakakku diiringi suara tepuk yang meriah.

Pagi itu kami semua sangat bahagia. Aku, kakak, dan ayah dapat bekerja dengan perasaan yang luar biasa senang hari ini. awalnya aku, dan kakak tidak ingin bekerja karena kami ingin bersama dan melayani apapun yang ibu kami minta. Tetapi ibu melarangku. Yang membuatku kaget adalah kalimat ibu yang ia ucapkan ketika aku memeluknya saat pamit untuk bekerja.

“terimakasih atas hadiahnya sayang. Ibu akan mengenakannya di hari pernikahanmu.”

Aku segera melepas pelukan ibuku dan menatap wajahnya sebentar, kemudian memeluknya lagi sambil berkata ::

“Insya Allah bu, Zahra sudah menemukannya. Bersabarlah ibu sampai Allah menentukan hari itu.”

***

“assalammualaikum.” kata mba Sarah yang baru datang dan langsung duduk di kursi yang ada di depanku.

“eh mba Sarah, Walaikumsalam.” Jawabku

“ada apa Zahra ? kelihatannya kau suntuk sekali ? kerjaan numpuk ?” terka mba Sarah bertubi tubi padaku.

“iyah , tapi bukan masalah kerjaan mba.” Kataku sambil memainkan sedotan yang ada di minumanku.

“lantas apa Zahra ?”

“urusan jodoh mba.”

Mba sarah tersenyum dan tertawa kecil sambil memegang tanganku yang terletak bebas diatas meja Café Cinta saat itu.

“jodoh ? ada apa?apa kamu bingung mau menentukan pilihan yang mana ?”

“mba-mba.. gimana mau bingung menentukan pilihan, yang dipilih saja tidak ada. Padahal usia ku sudah 27 tahun mba. Belum lagi ibu yang selalu memaksaku untuk segera menikah. Aku bingung mba. Apa Allah tidak menciptakan seorang pasangan untukku ? apa aku memang ditakdirkan untuk hidup sendiri ? jelasku saat itu

Mba sarah menatapku sejenak sambil berkata ::

“dugaanmu salah Zahra, Allah itu menciptakan semuanya berpasang-pasangan. Malam dengan siang. Kanan dengan kiri. Hidup dengan mati. Kaya dengan miskin. Muda dengan tua. Serta Wanita dengan laki-laki.” Jelas mba Sarah

“lantas mengapa ada orang sepertiku ? dan bagaimana pula dengan mereka-mereka yang hingga mati tidak menemukan jodohnya ?”

“mereka itu adalah orang-orang yang jodohnya Allah simpan untuk bertemu di Akhirat. Tidak ada yang diragukan lagi dari janji Allah itu. percayalah ia akan segera datang. Emmhhh.. memangnya laki-laki seperti apa yang Zahra inginkan ?” tanya mba Sarah di ujung penjelasannya.

“Dulu Zahra punya criteria-criteria tentang calon suami Zahra mba. Zahra inginnya seorang suami yang sholeh, pintar, ganteng, mapan, dan berkaca mata. Tapi sekarang….. “ aku berhenti dan aku melanjutkan perkataan ku dengan gelengan kepala saja.

“kenapa ?” tanya mba Sarah penasaran

“dengan kondisi ku yang seperti ini aku sadar mba, aku tidak pantas mendambakan sosok yang begitu sempurna itu. cukup Sholeh dan mampu menjadi Imam yang baik, aku rasa sudah cukup.” Kataku sambil menyeruput Es cappuccino yang mulai habis itu.

“saran dari mba, jangan putus asa. Teruslah berikhtiar dan berdoa. Insya Allah cepat atau lambat ia pasti datang. Dan ketahuilah bahwa Allah itu memberikan apa yang kita butuhkan bukan yang kita inginkan. Jika Allah menundanya itu karena waktunya tidak tepat dan akibatnya mungkin kurang baik bagi diri kita. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.” Jelas mba Sarah panjang lebar.

“terima kasih ya mba atas saran dan masukannya.”

Kami pun kemudian melanjutkan untuk menghabisi makanan yang sudah lama kami biarkan itu.

***

Tiap malam aku selalu meluangkan waktuku untuk curhat pada Tuhanku. Aku selalu berdoa agar Dia cepat mempertemukan aku dengan jodohku. Aku pun juga berpesan pada kakakku. Jika ada seorang teman laki-laki kakakku yang sholeh yang siap menikah, maka aku pun siap. Sejak percakapan ku dengan mba Sarah di Café Cinta seminggu yang lalu itu. sudah tiga orang teman yang kakak ku ajukan. Ketiga-tiganya sholeh hanya saja teman kakak yang pertama itu seorang duda yang baru ditinggal mati istrinya saat melahirkan anak pertama mereka. Aku menolaknya karena aku tidak nyaman menikah dengan seorang duda. Teman kakak yang kedua aku tolak juga karena belakangan diketahui bahwa ia akan mengajakku tinggal di Sumatra jika telah menikah dengannya. Aku tidak mau tinggal jauh dengan ibuku. dan dengan teman kakak yang ketiga aku hampir menerimanya. Dia sholeh, mapan, dan tinggal satu kota dengan ku, hanya saja orang tuanya berbeda keyakinan dengan dirinya. Dia seorang Muallaf 2 tahun yang lalu, dan keluarganya menganut ajaran Budha. Mungkin aku tak masalah dengannya, karena ia seorang Muallaf, tetapi aku tidak bisa hidup dengan mertua yang beda keyakinan denganku. dan aku yakin sekali bahwa orang tuanya pasti tidak merestui pernikahanku ini.

Dua minggu setelah pertemuan itu, aku kembali dilanda badai keputusasaan. Aku sudah hampir menyerah dan tidak mau menikah. Hingga pada suatu malam aku curhat pada Tuhanku sambil menangis tersedu-sedu. Aku hanya menangis saja. aku yakin Allah saat itu mengerti apa yang aku rasakan walau hanya lewat tangis ku ini. Tanpa sadar aku tertidur dan terbangun saat ibuku membangunkanku untuk sholat Shubuh berjamaah.

“serahkan semuanya pada Allah ya sayang, dan yakinlah.” Kata ibu ku sambil memelukku.

“ibu.” Aku kemudian memeluknya erat. erat. dan erat.

Usai sholat aku kembali ke Kamarku. Aku ingin mengerjakan tugas kantorku yang harus selesai sore nanti. Aku buka notebook ku. Ternyata aku juga menerima sebuah e-mail. E-mail itu dari mba Sarah.

Assalammualaikum..

Zahra, Apa kau sudah menemukannya ? Jika mba boleh membantu, mba ada calon yang sekiranya cocok buat Zahra. Jika Zahra mau, Zahra bisa datang ke acara silaturahim di Mesjid At- Taqwa. Acaranya hari Minggu ini jam 10 pagi.

Mba tunggu ya kedatangan Zahra.

Setelah membaca e-mailnya aku segera menghubungi mba Sarah.

“Assalammualaikum.”

“Walaikumsalam.”

“mba.. Zahra sudah membaca e-mail nya.”

“trus bagaimana ? apa Zahra mau menerima tawaran mba ?”

“iya mba, Zahra mau.”

“Alhamdulillah.. Insya Allah dia cocok buat Zahra. Mba tunggu ya kedatangan Zahra.”

“Amiin…Assalammualaikum.”

“Walaikumsalam.”

“Ya Allah.. inikah Jawaban doaku ?” batinku mengharap.

***

Pagi ini aku akan datang menghadiri acara silaturahim itu. aku datang setengah jam sebelum acara dimulai. Banyak sekali orang yang menghadiri acara itu. ternyata acara ini adalah acara Tausiyah Ustad Jefri Al Bukhori. Acara dzikir bersama menjelang awal tahun baru Islam. Aku sedikit sulit mencari-cari mba Sarah karena begitu banyak orang didalam mesjid itu. aku coba untuk menghubunginya saja. tetapi hasilnya nihil. Berulang kali telpon ku tak dijawab oleh mba Sarah. Akhirnya langkah terakhir yang aku ambil adalah mengirimkan SMS padanya. Kemudian aku masuk dan mengisi barisan kosong yang masih tersisa. Tak lama kemudian mba Sarah membalas SMS ku. dia sedang menunggguku diluar. Aku kemudian segera menemuinya.

“Zahra, maaf.. mba tadi sibuk mengurusi konsumsi jadi tidak bisa menjawab telpon mu.”

“Zahra mengerti mba.”

“Syukurlah, oh ya.. mba akan pertemukan kalian selesai acara dzikir ini yah. Tunggu mba di kantin mesjid ini yah.”

“iyah..mba.. baiklah.. kalau begitu mba pamit dulu. Masih ada yang ingin mba kerjakan.”

Aku pun kembali ke dalam mesjid itu. sedangkan mba Sarah hilang dibalik tikungan mesjid nan Indah ini. tak lama kemudian acara dimulai. Diawal acara dzikir berjalan sangat meriah, menarik, dan di akhir acara begitu terasa hidmat karena dzikir dan doa yang dibawakan oleh sang Ustadz yang menyentuh kalbu. Aku pun ikut menangis. Saat semua jamaah telah pergi meninggalkan mesjid. Aku menerima SMS dari mba Sarah bahwa ia telah menungguku di kantin mesjid. Aku segera menuju kantin mesjid itu. dalam hati ada perasaan yang mendesir hebat.

“Ya Allah, aku akan bertemu dengan calon suami ku ? semoga saja ia adalah orang yang engkau takdirkan memang untukku. Amin.” Aku membatin.

Dari jauh mba sarah melemparkan senyuman dan lambaian tangannya padaku. dari kejauhan pula aku melihat bagian belakang sang calon Imam keluargaku. Hati ku semakin tidak tenang. Tiba-tiba saja rasa nervous itu muncul.

“aku harus bisa menguasai rasa ini. Bantu aku Ya Allah.” Pintaku kemudian.

Dengan langkah pasti dan diiringi kalimat Basmalah aku berjalan kearahnya dan mba Sarah.

“Assalammualaikum mba.” Sapaku

“Waalaikumsalam.” Sapa mba Sarah dan dirinya secara bersamaan.

Aku berusaha menguasai diriku. Aku tak berani sedikit pun menatap wajah sang calon imam keluarga itu. sejak aku duduk dan memberi salam hingga 5 menit kemudian suasana hening. Aku jadi semakin bingung harus melakukan apa. Untunglah mba Sarah segera membuka percakapan kami saat itu.

“Sebelumnya kalian berdua sudah mengetahui kenapa kita berkumpul disini. Mungkin kalian berdua belum saling kenal. Baiklah kalau begitu. Mba yang menjadi jubir kalian berdua, karena sepertinya kalian malu-malu sekali.” Canda mba Sarah.

Kami hanya tertawa kecil mendengar pernyataan Mba Sarah itu.

“Baiklah, Zahra kenalkan dia adalah Yusuf. Lengkapnya Muhammad Yusuf. Dan Yusuf, kenalkan dia adalah Zahra. Lengkapnya Zahra al Khansa. Nah selanjutnya saya persilahkan kalian berdua untuk saling memperkenalkan diri.” Jelas mba Sarah.

Tiba-tiba saja pandangannya dan pandanganku bertemu pada satu titik. Kami berdua tiba-tiba langsung menunduk secara bersamaan.

“Ya Allah.. kegantengan wajahnya memang seperti Nabi Yusuf.” Batinku

“Yusuf ayo dong.” Pinta mba Sarah

“iya mba, baiklah.” Sahut Yusuf

“Zahra, langsung saja. Saya adalah seorang laki-laki yang berusia 29 tahun. Saya dulunya adalah Mahasiswa lulusan Unmul Samarinda jurusan TIK. Sekarang saya bekerja sebagai IT disebuah perusahaan di sini. Orang tua saya masih lengkap. Dan tujuan saya adalah ingin menikah secepat mungkin. Kebetulan saya meminta mba Sarah untuk mencarikan calon istri bagi saya. Saya mempercayakan hal ini padanya karena saya yakin pilihan mba Sarah adalah orang yang baik untuk saya.” Jelas Yusuf Singkat.

“Zahra.” Panggil mba Zahra

“iya mba.” Jawabku

“Saya adalah Zahra al Khansa. Usia saya 28 tahun. Saya lulusan Sastra disebuah PN di Jawa. Sekarang saya bekerja sebagai penulis disebuah Koran ternama disini.”

“cukup Zahra ?” tanya mba Sarah

Aku hanya mengangguk. Aku merasa gugup sekali sampai-sampai aku tak tahu lagi apa yang harus aku katakan untuk memperkenalkan diriku.

“baiklah.. mungkin hari ini cukup sampai sini saja yah. Untuk perkenalan lebih lanjutnya, tergantung dari kalian berdua.” Kata mba Sarah

Akhirnya kami sudahi percakapan itu karena adzan dzuhur sudah berkumandang.

***

Sejak 3 hari yang lalu, saat aku bertemu dengan Yusuf, aku tak lepas untuk beristiharah pada Sang Penentu Kehidupan. Aku selalu meminta petunjuk, apakah Yusuf baik untuk agama, dunia, serta akhiratku. Akhirnya aku mengambil sebuah keputusan bahwa Yusuf adalah orang yang baik. Dan aku bersedia jika ia menjadi suami ku. aku sebenarnya ingin menyampaikan perihal ini kepada ibuku. namun, aku berubah pikiran. Aku akan memberitahu ibuku saat Yusuf menerimaku.

Saat asyik membaca Al Quran, Hp ku berdering. Sebuah SMS masuk ::

Assalam,

Zahra, ini Yusuf. Maaf ini terlalu cepat. Tapi setidaknya aku tidak ingin terlambat. aku ingin melamarmu. Bagaimana ? kapan aku bisa menemui orang tuamu ?

Wassalam

Seketika itu air mataku jatuh membasahi Quran yang sedang aku baca itu. akhirnya Allah menjawab doaku dengan cara-Nya sendiri. Aku segera berlari ke kamar ayah dan ibuku. aku ingin mereka segera tahu bahwa aku akan menikah.

Haru dan senyum kebahagiaan menyatu saat itu di kamar orang tuaku.

Dua hari kemudian, Yusuf dan keluarganya datang kerumah ku untuk melamarku. Dan dua minggu setelahnya kami melangsungkan pernikahan di Mesjid pertama kali kami bertemu. Belakangan aku juga mengetahui bahwa ia adalah pemilik suara Adzan yang merdu itu. puji syukur pun berhamburan dari lisanku. Ternyata pada saat itu Allah memperkenankan doaku.

Ketika mas Yusuf mengucapkan Ijab Qabul, aku dan ibuku berada di shaff yang dibatasi hijab.

“Zahra, terima kasih atas kadonya.” Ibuku kemudian memelukku.

“ibu.. Terima kasih atas semuanya.” Kata ku dengan haru

“oh ya bu, ibu sangat cantik dengan jilbabnya.” Godaku kemudian

Ibuku tersenyum nakal dan malu. Tanpa terasa kalimat Ijab Qabul telah selesai. Kini aku telah resmi menjadi Istri mas Yusuf. Di mesjid itu aku merasakan linangan rahmat Allah yang begitu banyak untuk kami semua. tanpa aku sadari Allah telah memberikan apa yang aku inginkan. Seorang suami yang sholeh, mapan, ganteng, juga berkaca mata.

“Subhanallah.” Batinku bertasbih hebat.

Setelah 3 bulan pernikahan kami, aku mengandung anak kami yang pertama. Dan tepat dihari ulang tahun ibuku, aku melahirkan anak kami yang pertama.

Inilah kado untuk ibuku.

***