Senin, 26 Desember 2011

Doa Saat Tsunami


Gampang…

Sebuah ungkapan yang terkesan menganggap mudah tatkala saya mulai berpikir untuk mencari pasangan hidup. Bagaimana tidak gampang, bayangan saya waktu itu adalah dalam pencarian jodoh saya akan berjalan mulus karena jumlah akhwat lebih banyak dibandingkan ikhwan. Dengan asumsi ini jelas akan menguntungkan saya dan para ikhwan untuk merasa perlu membuat criteria disamping criteria shalehah tentunya.

Maksudnya shalehah saja tidak cukup tentunya, harus ada tambahan lain dan hmmm, jadilah cantik dan smart jadi criteria berikutnya bagi saya. Ini sangatlah penting bagi saya, karena ada begitu banyak wanita cantik, tetapi ketika tidak smart maka sama dengan tidak cantik. Atau smart tapi tidak cantik juga kurang cocok. Cantik tidak harus cantik secara fisik, tapi ketika seorang wanita harus memiliki kecantikan yang datang dari dalam hati dan memancar dalam tingkah lakunya maka akan memiliki pesona sendiri, dan ini juga termasuk cantik.

Kemudian saya kembali merenung dan menemukan criteria berikutnya adalah tangguh. Wanita tangguh muncul dibenak saya dengan asumsi hidup dalam komitmen berislam yang tinggi tentulah tidak mudah.Dengan kata lain saya tidak menginginkan wanita yang cengeng, manja, apalagi tidak mandiri.

Terus apalagi ya ? entah mengapa tiba-tiba muncul criteria harus orang Aceh. Kriteria ini muncul karena saya orang Aceh dan ingin saja menjaga etnis Aceh agar jangan sampai punah.

Shalehah, cantik, smart, tangguh, dan orang Aceh adalah menjadi syarat yang saya ajukan. Promoter saya jadi geleng-geleng kepala dam sempat berkomentar bahwa criteria-criteria saya semua berbau duniawi. Saya hanya tersenyum dan menyatakan tidaka ada salahnya mencoba.

Lalu mulailah proses pencarian jodoh saya. Satu per satu biodata dan foto calon diajukan ke saya. Entah mengapa selalu saja ada yang kurang di sana-sini menurut saya. Ya kurang cantik meskipun sudah smart. Cantik tapi sering kurang nyambung jika diajak diskusi juga kurang pas. Ada lagi cantik, smart, dan sudah bekerja yang menunjukkan kemandirian, tapi bukan orang Aceh.

“ada lagi nggak ?” tanya saya ke promoter, ia hanya tersenyum dan menyerahkan data yang lain.

“baik, saya pelajari dulu,” saya masih bersemangat.

Setelah saya rasa cukup hingga akhirnya saya bersedia untuk diproses dengan data berikutnya. Semuanya seperti yang saya perkirakan diawal perkenalan kami berjalan lancar. Semua criteria saya ada pada sosok tersebut. Calonnya juga sudah oke. Namun masalah justru muncul dari orangtuanya yang menginginkan menantu seorang PNS. Tentu saja saya agak terpukul. Apalagi tampaknya sang calon tidak begitu memperjuangkan saya di depan orang tuanya sebagai laki-laki yang siap bertanggung jawab. Ia lebih memilih untuk menerima begitu saja keputusan orang tuanya.

Saya berpikir dan merenung. Ternyata akhwat pun dapat menolak saya. Dari mulai wajah yang es-te-de alias standar gitu. Kuliah nggak kelar-kelar, kerja nggak tetap, bukan orang yang terlalu smart,puasa senin kamis juga masih kembang-kempis, penampilan nggak rapi, kendaraan masih roda dua, doa juga masih kurang optimal, de-el-el lah pokoknya.

Saya kembali menata hari saya dan kembali mengumpulkan serpihan hati, mereview kembali criteria-kriteria itu dan memompa semangat untuk menemukan calon dengan memasang tampang ceria menghadap sang promoter agar diberikan kesempatan lagi.

“kriterianya dikemanakan Alfin ?” tanya sang promoter menggodaku.

“tetap.” Jawab saya nakal dan tersenyum.

Dan pencarian itu tetap tidak memakan waktu yang lama. Bahkan terbilang lancar. Semua criteria sangat pas dengan calon yang satu ini. masa ta’aruf pun berjalan lancar. Semuanya sangat cocok. Harapan pun ada saat perbincangan dengan orang tuanya. Mereka menerima saya, bahkan sudah menentukan jadwal akadnya. Usai silaturrahim malam itu, hati saya membuncah. Semua rencana melayang-layang dipikiran saya.

Namun kegembiraan itu seketika sirna , saat matahari pagi 26 Desember 2004 menyapa, bumi berguncang, dan badai gelombang Tsunami melumpuhkan tubuh saya. Kebahagian semalam yang saya dambakan hanyut dan meluap entah kemana. Saat itu kesadaran saya sepenuhnya pulih, tatkala akhirnya sebatang pohon mangga yang besar mampu menahan tubuh saya yang diselimuti oleh lumpur. Saya berhasil memanjat salah satu dahannya dan menyaksikan kehancuran yang luar biasa. Mayat-mayat bergelimpangan dimana-mana seiring dengan naik-surutnya air laut. Lalu pikiran saya melayang pada keluarga dan hal-hal yang belum saya lakukan.

Ya menikah !! saya belum menikah !

Saya berdoa dengan sepenuh jiwa, melenyapkan ukuran duniawi yang selama ini menguasai. Kriteria-kriteria itu berubah. Saya hanya berharap jika hari ini bukanlah hari kiamat, minta agar diberikan kesempatan memiliki keturunan dari seorang wanita shalehah siapa pun dia. Seketika itu saya teringat oleh kejadian tadi malam. Bagaimana kondisi calon saya ? melihat kondisi sekeliling, kecil kemungkinan mereka selamat. Saya hanya bermohon dan mendoakannya.

“ Ya Allah.. berikan aku kesempatan untuk banyak hal.” Pinta saya tulus.

Betapa tersanjungnya saya, ternyata Allah menjawab doa-doa saya. Dengan mudahnya kembali menuntun saya bertemu dengan calon belahan jiwa saya. Ternyata mereka sekeluarga selamat dari badai Tsunami kala itu. akhirnya setelah 4 bulan sesudah Tsunami. Tepatnya 15 April 2005, kami bersatu dalam rahmat Allah. Saat itu saya jadi teringat pada empat bulan sebelumnya, diatas pohon mangga saya sudah mendoakannya agar diterima di sisi-Nya. Saya pun kembali tersenyum.

Ternyata, it’s hard to find my soulmate.

Jangan Putus Asa

By :: Astri Taat… ^_^

Saya mengenalnya hanya sebagai teman. Bermula pada perkenalan kami pada sebuah komunitas pecinta alam. Dan kami pun sempat bersama dalam sebuah perjalanan untuk mendaki gunung. Hubungan saya dengannya pun hanya sebtas teman biasa saja, tidak lebih dari itu. Keakraban dan kekeluargaan memang sangat kental di dunia pecinta alam. Pada keseharian, kami pun tidak pernah ada pertemuan. Komunikasi hanya melaui e-mail, itu pun belum tentu seminggu sekali. Ariq, begitu biasa disapa. Saat itu, Ariq dimata saya hanyalah sebagai teman dalam sebuah komunitas.

Pada kesempatan lain ada perlombaan climbing Se-Asia bertempat dihalaman Senayan. Ariq mengirimkan pesan pada sebuah e-mail, berisi tentang pengumuman perlombaan climbing tersebut. Dan saya pun antusias sekali, tidak mau ketinggalan untuk melihat moment itu. Pesan singkat saya kirim melalui SMS :

“Riq, kalo mau nonton lomba climbing bareng ya ?”

Send

Tak lama SMS pun terbalas :

“OK.. nanti ketemu langsung di Senayan aja.”

Akhirnya tiba waktunya perlombaan itu dilaksanakan. Saya pun langsung menuju ke halaman Senayan dan saya sudah mendapati Ariq sedang asyik nonton para pemanjat yang sudah siap-siap untuk memulai acara.

Disela-sela kerumunan para penonton saya dan Ariq terlihat serius memperhatikan teknik-teknik yang digunakan para pemanjat tersebut. Tiba-tiba Ariq, mengajak saya untuk mencari tempat yang agak longgar, sedikit dibelakang tapi masih dapat melihat perlombaan itu dari kejauhan. Setelah beberapa saat, saya dikejutkan oleh pertanyaan Ariq.

“Eh.. aku mau tanya ni..?”

“mau tanya aja kok minta izin.” Jawab saya bercanda

“Hmmm.. aku serius.” Ariq mulai menampakkan wajah serius.

“Lha nanya aja. Emang kenapa sih ?”

“Kamu mau ga menikah sama aku ?”

“Haa.. ntar dulu… ntar dulu, kamu ini sadar apa lagi mimpi sih ?” saya masih bercanda, karena tidak percaya dengan apa yang barusan dikatakannya.

“Aku serius nih!”

“kamu ini ada-ada aja deh. Aneh.” Kataku menutupi rasa bingungku.

“ya sudah, aku kasih kamu waktu untuk menjawab, tapi jangan terlalu lama ya ?”

“iihhh.. kamu ini kenapa sih ?” saya masih bingung karena selama ini saya hanya menganggapnya sebagai teman, tetapi kenapa dia melontarkan pertanyaan yang menurut saya sulit untuk dijawab ?

Sepulang dari acara perlombaan itu,pergumulan di hati saya terlalu penuh hingga sesak dada ini. saya sama sekali tidak menduga, jika Ariq berani menanyakan hal itu.

Pada kesempatan lain Ariq mengirimkan e-mail berupa artikel tentang kisah-kisah mualaf. Terkadang dia juga mengirimkan hal-hal yang berbau islami. Saya mulai tertarik dengan beberapa artikel yang dikirimkannya. Dan singkat cerita saya mulai tertarik dengan agama Islam.

Pertanyaannya untuk menikahi saya pun mulai surut bahkan hampir terlupakan karena saya konsentrasi pada ilmu-ilmu islam.

“Riq, bantu aku dong. Aku mau masuk Islam. Bagaimana caranya ?” saya minta bantuannya karena saya menganggap dialah yang membawa saya tertarik dengan dunia islam.

“jangan dulu deh, kamu pikir-pikir lagi. kamu mau masuk islam karena aku ? Bagaimana nanti jika kamu masuk Islam, tetapi ternyata aku dan kamu tidak jadi menikah?” jawab Ariq dengan mimic muka yang terlihat saat mendengar permintaan saya.

“saya pun langsung meyakinkannya, “ aku sudah memikirkannya.aku mau masuk Islam bukan karena dirimu. Dam aku sudah siap dengan resiko apapun. Jika aku dan kamu memang tidak jadi menikah, ya aku menganggap itu semua karena-Nya. Jodoh ada ditangan Tuhan, dan aku ikhlas menerima itu. dan sampai saat ini sebenarnya juga aku belum yakin apa dirimu itu jodohku atau bukan ?”

Ariq terdiam dengan kata-kata saya.

Alhamdulillah akhirnya saya masuk Islam. Persoalan selanjutnya adalah mengenai hubungan saya dengan Ariq. Masih bingung. Tentu karena keluarga Ariq belum menerima saya. Meskipun saya belum pernah berjumpa dengan mereka, mungkin semua latar belakang saya, orang tua yang menganut non muslim menjadi penyebabnya. Banyak pertanyaan di benak saya.

Mungkinkah keluarganya bisa menerima saya apa adanya ?

Mungkinkah nanti jika menikah saya akan bahagia ?

Mungkinkah saya menikah dengannya, sedangkan saya tidak banyak mengenal pribadinya, keluarganya, dan sebagainya?

Saya pun mulai menyempatkan waktu disepertiga malam saya untuk curhat pada Allah swt.

“Ya Allah, jika memang dia kau pilih untukku tolong beri kemudahan pada kami. tetapi jika dia bukan jodohku, jauhkanlah dia dariku Ya Allah. Berilah petunjukMu Ya Allah. Hamba mohon dengan sangat, berilah petunjuk-Mu Ya Allah.”

Saya sungguh bingung. Tidak tahu harus berbagi dengan siapa.

Dengan orang tua ? sungguh tak mungkin, karena orang tua saya sudah terluka dengan berpindahnya saya menjadi pemeluk agama Islam.

Bagaimana mungkin saya share mengenai persoalan saya, karena Ariq adalah pemeluk Islam. Satu lagi, keluarga saya tidak setuju jika saya menikah dengan orang diluar pulau Jawa. Duh.. saya tidak tahu harus bagaimana ? akhirnya saya hanya bisa pasrah dalam doa. Karena saya yakin hanya Allah yang tahu isi hati saya, dan hanya Allah yang dapat menyelesaikan persoalan saya.

Hari pun terus berjalan, bahkan bulan pun berganti. Saya dan Ariq masih berkomunikasi meskipun sudah jarang. Bahkan saya berpikir apakah Ariq sudah lupa dengan apa yang pernah ia tanyakan. Waktu itu saya hanya menjawab tidak tahu,saya meminta hubungan pertemanan berjalan seperti biasanya saja, karena saya belum siap menikah. Setelah itu tidak ada lagi respon dari Ariq.tapi saya merasa Ariq masih menggantungkan jawaban pasti dari saya.

Aktivitas saya berjalan seperti biasa. Tetapi, pikiran saya terus bercabang. Dan saya tetap melanjutkan doa-doa malam. Karena saya merasa Allah “belum” memberikan petunjuk, apakah Ariq itu jodoh saya atau bukan ? saya masih merasa ada keraguan dengan keluarganya.

“Ya Allah, berilah petunjuk-Mu Ya Allah.” Kata-kata ini selalu saya ucapkan disela-sela doa. Saya tidak putus asa, karena keyakinan yang kuat bahwa suatu saat Allah akan memberiku jawaban.

Sempat juga terlintas dibenak, seperti apa petunjuk yang Allah beri pada saya ?

Apakah saya harus menanyakan pada Ariq perihal hubungan ini ?

Ah.. aku malu dan juga ada rasa segan untuk menanyakan ini. karena aku tahu, posisiku adalah sebagai wanita. Aku mengurungkan niatku untuk bertanya pada Ariq perihal keseriussannya menikahiku.

Hubungan kami masih sperti semula. Hanya sebatas teman. Tidak ada yang istimewa, karena kami tahu bahwa kami tidak terikat sebagai muhrim. Jika ada perbincangan, tidak ada kata-kata yang menyinggung mengenai hubungan kami, apalagi membicarakan perihal pernikahan. Selalu obrolan kami tidak jauh dari soal pekerjaan, atau aktivitas komunitas pecinta alam.

Saya merasa sudah lewat 4 bulan, sepertinya tidak ada tanda-tanda kemana hubungan ini akan berakhir. Saya hanya pasrah dan terus berdoa. Ketika menjelang tengah malam usia sholay isya, saya mendapatkan SMS dari Ariq.

“kamu sudah siap menikah belum ? tolong dijawab segera. Aku tunggu.”

Saya kaget , karena dengan tiba-tiba tanpa ada basa-basi, Ariq menanyakan hal itu setelah sekian lama. Saya membisu. Tidak tahu harus menjawab apa. Saya langsung ingat pada Allah, “ apakah ini petunjuk dari Mu Ya Allah ?”

Lama sekali saya tidak menjawab SMS itu. dan akhirnya Ariq menelpon.

“Assalammualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

“SMS ku masuk nggak ?”

“Iya masuk.”

“trus kamu dah baca ? jawabannya gimana ?

“aku jawab besok ya ? aku pikir dulu.”

“aku kan sudah kasih kamu waktu berbulan-bulan ? tolong jawab sekarang ya ? saya tunggu jawabannya malam ini.”

Jantung saya makin berdetak kencang. Saya tidak bisa menjawab siap atau tidak.

Beberapa menit kemudian, ada SMS masuk dari Ariq :

“ada kabar baik, aku sudah bicara dengan orang tua ku dan keluargaku. Semua aku sudah ceritakan niat baikku untuk menikahimu, dan juga latar belakang keluargamu. Intinya mereka setuju. Bagaimana ?”

Saya menangis, saya baru yakin, inilah petunjuk yang Allah berikan. Allah menjawab semua doa-doa saya. Allah memberikan kemudahan pada saya. Insya Allah, Ariq adalah jodoh saya. Dan dengan tangan bergetar saya menjawab SMS itu :

“Insya Allah saya ridho dengan keputusan Allah swt.”

Beberapa menit setelah SMS terkirim, Ariq kembali menelpon.

Alhamdulillah, besok aku kerumahmu untuk melamarmu. Aku akan bertemu dengan kedua orangtua mu untuk membicarakan pernikahan kita.”

“iya, nanti aku juga bicara dengan orangtua ku.”

Esok pagi saya langsung bicara dengan kedua orangtua mengenai niatku dengan Ariq. Dan kembali saya diberi kemudahan, karena akhirnya orang tua saya menyetujui hubungan saya dengan Ariq.

Ketika lamaran sudah dilaksanakan, tanpa saya duga ternyata acara pernikahan dilangsungkan dua minggu lagi. waktu yang menurut saya sangat cepat. Orangtua saya pun sempat tidak setuju dengan waktu yang ditentukan tersebut, namun dengan berbagai pertimbangan, akhirnya kami mengurus segala keperluan surat-surat juga persiapan yang lainnya. Alhamdulillah semua berjalan lancar.

Saya yakin bahwa Allah benar-benar menjawab doa-doa saya.

Alhamdulillah … Terima kasih ya Allah.. ^_^



Ketika Jembatanku Runtuh


<!--[if gte mso 9]> Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE


Piring berhamburan di lantai. Gelas dan sendok pun tak mau ketinggalan. Sisa-sisa makanan berceceran di lantai.

“Ta.. bantu aku yah ?” Pintaku pada Mita sahabatku.

“Tentu Nisa.” Sahutnya dengan senyum mengembang.

Aku dan Mita gotong royong buat ngebersihin ruangan yang tidak begitu besar itu. Ukuranya hanya 4 m x 4 m saja. Ruangan itu hanya bisa digunakan untuk tidur saja. di ruang itu hanya beberapa perabot ku saja yang bisa masuk. Tidak ada kamar mandi dan dapur secara khusus namun aku harus menggunakannya bersama-sama dengan yang lainnya. Sudah hampir 4 tahun aku tinggal di ruang ini sejak aku pergi dari rumahku. Ibuku lah yang memilihkannya untukku.

“huffh.. Panas banget Nis Kos kamu ?” Kata Mita sambil mengepakkan kedua tangannya kea rah lehernya.

“Maklumlah.. namanya juga kos-kos an Ta. Ga sedingin kamar mu kan.” Celetukku.

“ah.. bisa jah dirimu Nis.” Sahutnya malu-malu.

Kami berdua melanjutkan membersihkan kos-kos an itu. Tiba-tiba Handphone ku berdering. Aku segera meraba saku gamis ku. dan kudapati handphone ku disana.

“Assalammualaikum Umi.” Kataku lembut sambil duduk di tempat aku berdiri tadi.

“Walaikumsalam anakku.” Sahut Umi ku lembut.

“Selamat Ulang Tahun ya sayang, maaf baru sekarang Umi bisa mengucapkannya.”

“Umi.. Trimakasih ya.. , Nisa senang Umi menelpon Nisa. Nisa jadi kangen Umi.. Nisa ingin pulang dan merayakannya bersama Umi.” Kata ku dengan air mata yang tak sengaja jatuh dari pipiku.

“kau menangis sayang ?” tanya Umiku

“Iyah umi.. Ini adalah tangis bahagia dan rindu Nisa pada Umi. Nisa kangen sekali ingin mencium tangan Umi dan melihat senyum Umi yang meneduhkan hati Nisa.” Kataku dengan air mata yang lebih deras.

“sayang.. sayang.. dengarkan Umi.., Umi tahu kau rindu pada Umi, Umi pun rindu padamu.. tapi bersabarlah sayang .., Bukankah sebentar lagi akan wisuda. Umi selalu mendoakan yang terbaik untukmu agar wisuda mu lancar. Amin.” Ucap umiku menyemangatiku.

“oh ya sayang.. nanti Umi telpon lagi yah.. Umi selalu mendoakan Nisa. Assalammualaikum.” Umi ku mengakhiri obrolannya.

“Walaikumsalam.” Jawabku.

Tut..tUt..Tut..

Aku masih duduk termangu. Tanpa sadar Mita sudah duduk didepanku. Aku tersadar dan melihat keadaan sekelilingku sudah bersih. Aku tersentak kaget. Aku merasa bersalah membiarkan Mita membersihkannya sendirian. Seharusnya aku membantunya sambil menelpon tadi.

“Mita.. aku.. aku minta maaf ya. Aku tidak bermaksud meyuruhmu untuk membersihkan semua ini sendirian.” Kataku dengan rasa bersalah.

“Nisa.. sudahlah, aku ikhlas kok.” Katanya dengan senyum keikhlasan.

“Sekali lagi aku terimaksih ya Mita.. kau memang Sahabat yang paling mengerti aku.” Kataku sambil memegang kedua pundaknya.

***

Tepat pukul sepuluh malam aku baringkan tubuhku ku yang terasa pegal ini. Rasa lelah yang menghantuiku sejak siang tadi kini sedikit demi sedikit mulai hilang. Sambil menatap langit-langit kos-kosan ku itu aku teringat akan Umi ku. Dia berjanji akan menelpon ku kembali saat berbicara dengan ku tadi sore. Aku segera meraih handphone yang ada tidak jauh dari tempat ku berbaring. Aku tekan angka 1 agak lama untuk panggilan cepat menghubungi Umi ku. Untuk angka 2 aku gunakan untuk panggilan cepat Abi ku. cukup lama aku menunggu telpon ku dijawab oleh Umi. Aku matikan sambungannya saat sang operator sudah berbicara. Aku kembali mengulangi telpon itu. tidak lama kemudian aku putus telpon itu karena aku berpikir bahwa mungkin Umi ku sudah tidur. Akhirnya aku urungkan niat untuk menelponnya malam ini. Meski lelah aku tak juga dapat segera tidur. Mata ini tak terasa mengantuk. Pikiran pun akhirnya melayang-layang dan akhirnya limbung pada sosok seorang lelaki.

“astagfirullah..” Ucapku cepat

Entah syetan apa yang merasuki diriku hingga aku membayangkan seseorang yang bukan mahramku. Bahkan sampai menghayalkannya sebagai suami ku. Jika berbicara masalah suami aku jadi teringat pada seorang lelaki sholeh di kampung ku yang pernah berkata kepadaku akan melamarku jika aku sudah selesai kuliah. Namanya adalah Fadhil, anak Juragan beras yang soleh dan terpelajar. Usianya berbeda 3 tahun denganku. Tetapi sekarang berdasarkan informasi yang aku terima dari Umi. Fadhil telah menikah dengan seorang wanita yang telah ia hamili sebelum menikah. Saat mendengar kabar itu sontak aku kaget dan bergetar. Bagaimana mungkin seorang lelaki yang sholeh dan terpelajar mampu melakukan perbuatan keji dan berdosa besar itu. Kejadian ini sudah satu setengah tahun yang lalu, tetapi jika aku mengingatnya aku jadi merinding sendiri. aku tidak bisa membayangkan seandainya dia menjadi suami ku. Tentu dia akan jadi suami yang jago selingkuh.

***

Siang ini di kampus ku akan ada acara bakti social bersama anak-anak jalanan. Aku dan Mita menjadi panitia dalam acara ini. Pagi-pagi sekali aku dan Mita serta beberapa panitia yang lainnya sudah ada di gedung serba guna kampus kami untuk mengatur dan gladi bersih acara tersebut. Saat tengah sibuk membantu teman-teman yang lain handphone ku berdering. Aku lihat di layar bahwa umi yang menghubungiku. Aku segera berlari kearah pinggir ruangan dan menjawab telpon umi ku itu.

“assalammualaikum Umi ?” kataku dengan senyum mengembang

“Walaikumsalam Nisa sayang.” Sahut umi ku dengan suara yang membuat ku tenang.

“Ada apa umi ? Tadi malam telpon Nisa tidak dijawab ?” kata ku penuh heran

“Maafkan umi sayang.. Tadi malam umi sudah tidur.. dan sekarang umi ingin berbicara sesuatu padamu. Apakah kamu sibuk sayang ?” jawab umi ku jelas.

“Hemh.. sebenarnya Nisa lagi bantu teman-teman untuk mendekorasi ruangan kampus yang akan digunakan untuk acara bakti social bersama anak jalanan umi.” Jelasku

“ya sudahlah.. nanti saja umi telpon kembali.” Sahutnya sedikit kecewa

“tidak umi.. Sekarang saja.. Nisa jadi penasaran.. Toh banyak teman-teman yang membantu kok.” Kataku cepat

“apa yang umi ingin bicarakan?” sambungku kemudian

“Pernikahan.” Kata umiku singkat

Aku terdiam sejenak. Dalam benakku mencari cari apa maksud perkataan umi itu. siapa yang akan menikah ? Aku tak punya kakak yang akan menikah karena aku anak tunggal. Tiba-tiba terdengar suara umi ku memanggil manggil namaku. Akupun tersadar dari lamunanku.

“iyah.. umi maaf..emmh.. siapa yang akan menikah umi ?” tanya ku kemudian

“kamu itu bagaimana toh, kamu lupa yah kalo yang akan segera menikah itu adalah kamu sayang.” Kata umiku dengan sedikit tertawa nakal

Jedddarrrrr……

Gluduk dihatiku menyambar. Seluruh aliran darahku berhenti karena jantungku tak berdetak. Badanku mulai bergetar. Tak ada kata yang bisa keluar dari mulutku ini. aku berusaha menenangkan kembali diriku. Aku segera duduk ditangga-tangga gedung ruang itu. Pandanganku tiba-tiba menangkap sosok Mita yang bertanya tentang apa yang sedang terjadi padaku dengan isyarat kedua tangannya. Aku hanya menjawab dengan menggelengkan kepalaku. Kemudian Mita membalas dengan mengacungkan jempol kanannya dan tersenyum padaku dan seketika itu larut kembali membantu teman-teman yang lainnya. Aku hampir lupa bahwa umi sedang menunggu responku. Aku masih tidak tahu harus berkata apa.

“u.. mi… ?” kataku sedikit terbata-bata. Hanya itu yang dapat aku ucapkan. Batinku masih shok mendengar kata-kata umi yang barusan saja melintas di benakku.

“kenapa Nisa ? umi hanya mengingatkan sayang.. bukankah Nisa pernah bilang jika sudah lulus nanti akan memperkenalkan calon suami Nisa yang akan menjadi menantu umi. Umi sudah sangat lama menunggunya sayang. Asal Nisa tahu saja.. Di kampung ini banyak sekali lamaran datang untuk Nisa, tetapi umi bilang hanya Nisa yang dapat menentukannya. Sekarang umi ingin tahu, apa Nisa bisa pulang saat liburan semester 4 nanti bersama calon menantu Umi ?” tanya umi ku penuh semangat.

“Insya ALLAH ya Umi..” Jawabku singkat.

“ya sudah.. umi tunggu ya sayang..” sahutnya gembira

Sambungan telpon itu akhirnya terputus saat aku menjawab salam umiku. Aku masih duduk lemas ditangga itu. Diri ini belum bisa menerima permintaan umi itu, karena keadaan sekarang sudah berbalik 360 derajat dibanding saat aku bercerita pada umi tentang sosok dirinya.

***

DUA TAHUN YANG LALU

Saat aku semester dua aku pernah bercerita pada umi ku bahwa aku telah menemukan calon yang tepat untuk menjadi suamiku. Saat itu umi ku girang sekali. Aku pun dapat merasakan kegirangannya yang sangat luar biasa. Umi pun bertanya ini dan itu perihal dirinya. Karena banyak, aku pun berjanji pada umi bahwa akan mengajaknya setelah aku liburan semester 4 nanti. Dia adalah seorang kakak senior ku di kampus ku. Pertama kali aku bertemu dengannya yaitu pada salah satu organisasi di kampus ku. Awalnya aku biasa-biasa saja padanya, seperti seorang junior dan senior yang hanya sebatas teman dalam organisasi. Akupun bisa dibilang orang yang pemalu. Entah karena sebuah fakta yang aku temukan pada suatu hari mampu merubah perasaan ku padanya. Waktu itu aku baru saja selesai rapat dalam organisasiku. Saat itu dia tidak hadir dalam rapat itu. aku dan organisasiku rapat di lantai 4 kampus ku. Saat itu kami menggunakan ruang perpustakaan untuk rapat. Tepat di depan perpustakaan itu ada musholla kampus kami yang mungkin ukurannya hampir sama dengan kos-kosan ku ini. ketika aku keluar dari ruang rapat. Mata ini terharu menangkap sesosok lelaki yang sedang membaca Qalam ALLAH. Seketika itupun hatiku berdesir hebat. Seorang mahasiswa sekaligus manusia yang sholeh. Sudah lama aku mendambakan sosok lelaki seperti itu. Senyum bahagia tersungging di bibirku. Sejak saat itu aku mulai merasakan sesuatu yang aneh tumbuh di hati terhadapnya. Setelah itu aku jadi sering memperhatikannya. Rasa yang bagai petir yang mampu menyambar-nyambar hatiku ini semakin kuat sampai-sampai aku malu pada ALLAH jika aku melampaui batas. Singkat cerita akhirnya kami menjadi lebih akrab tetapi masih menjaga batas-batas antara seorang wanita dengan laki-laki. Saat kedekatan kami itulah aku bercerita pada umiku bahwa aku sudah menemukan calon suami yang sholeh yang akan menjadi menantunya.

Sekarang apa yang harus aku lakukan ???

***

“hey.. ada apa Nisa.” Tanya Mita yang mengagetkanku

“entahlah Ta, aku bingung harus melakukan apa sekarang.” Kataku sambil menghembusakan nafas kelesuan.

“Cerita saja padaku Nisa ?” pinta Mita sambil menepuk pundak kananku.

Aku segera mengangkat kepalaku dan menatapnya dengan tatapan kebingungan.

“aku.. aku bingung Mita, Aku bingung harus memulainya dari mana?” kataku kemudian

“apa karena telpon tadi ?” tebak Mita tepat

Aku hanya mengangguk pelan sebagai tanda bahwa tebakannya benar.

Sesaat kemudian aku mulai menceritakan pada Mita bahwa umi ku yang menelpon dan memintaku untuk membawa calon suami yang telah aku janjikan setelah liburan wisuda nanti. Mita yang mendengar penjelasan ku mengkerutkan dahinya karena tak mengerti apa maksud perkataan ku. aku pun kembali memperjelas maksudku dengan menceritakan padanya bahwa aku telah mencalonkan Reza alias si kakak senior sebagai calon suamiku. Mita masih serius mendengarkan ceritaku tanpa komentar karena Mita memang tahu bahwa aku sangat mengidolakan Reza dan akupun pernah mengungkapkan harapanku yang sangat memimpikan Reza untuk menjadi suami ku kelak.

“Lantas apa yang membuat mu bingung ? Bukankah ini memang impian mu ?” tanya Mita heran

“ada satu hal yang tak kau ketahui Mita tentang aku dan Reza, aku pun baru mengetahuinya sekitar 3 bulan yang lalu dan aku berusaha tak mau mengingat kejadian itu, makanya aku tidak menceritakannya padamu.” Jelasku.

“apa maksudmu Nisa ? ceritalah yang jelas?” tanya Mita penasaran

“sekitar 3 Bulan yang lalu aku mengetahui bahwa Reza itu hanya menganggap ku bak adiknya saja. Dia ternyata sudah ada pilihan lain.” Kataku kemudian

“Sudah ada pilihan lain ? Apa maksudnya Nisa ? aku tak mengerti.” Desaknya padaku

“DIA TAK MENCINTAIKU SEPERTI AKU MENCINTAINYA.” Kataku datar.

“lantas siapa yang dia Cinta ?” lanjut Mita penasaran

“Lia…., Lia Ambarwati.”

Aku kemudian kembali menjelaskan pada Mita tentang bagaimana Reza bisa dekat dengan Lia, dan perihal cara dia mendekati Lia. Hingga akhirnya kami di kejutkan oleh seorang panitia acara dari pihak senior bahwa aku harus naik ke atas mimbar untuk gladi bersih memberikan sambutan. Dengan langkah tak terarah menuju mimbar, dan dari atas mimbar aku melihat sosoknya sedang berdiri lurus di depanku dan memperhatikanku dengan wajah ceria dan senyuman penuh keikhlasan.

***

SAATNYA AKU PULANG KAMPUNG

Seusai sholat magrib aku mengemasi barang-barang yang akan aku bawa ke rumahku. Aku sudah sangat tidak sabar menunggu besok. Aku sangat ingin bertemu dengan umiku, abiku, dan keluarga ku yang lainnya. Kerinduanku ini akan segera terbayarkan. Aku memasukkan perlahan barang-barangku dan memastikan bahwa tak ada satu barang pun yang terlewatkan. Oleh-oleh Khas Semarang pun sudah aku kemas dengan rapi. Saat sibuk mengemasi barang, handphone ku berdering. Sebelum melihat layar handphone ku, aku sudah menebak bahwa umi yang menelponku. Aku bersiap menjawab dengan senang yang meluap. Tetapi seketika itu rasa senang yang meluap itu berubah menjadi rasa tegang. Bukan umi ku yang menelpon ku saat itu. Diam..Diam.. Diam.. aku hanya bisa diam menatap layar telpon ku itu. tak mampu tangan ini bergerak menjawab telpon itu. Hingaa akhirnya telpon itu mati. Aku masih terdiam memegang telpon itu.

“tidak mungkin. Ada apa dia menelpon ku kembali ?” Batinku.

Tak lama kemudian handphone ku kembali berdering. Aku sangat yakin bahwa dia kembali menghubungiku. Aku berusaha berpikir jernih, barangkali ada hal penting yang ingin dia sampaikan. Dengan membaca basmalah terlebih dahulu aku kemudian menjawab telponnya.

“Assalammualaikum.” Sapaku

“Walaikumsalam… De.. maaf ya jika telpon kakak ini mengganggu mu ?” katanya dari kejauhan.

“oh.. tidak kak..” jawabku singkat

“kakak dengar besok kamu mau pulang ke kampung halaman yah ?” tanya kemudian

“iyah kak.. aku sudah sangat rindu pada umi dan yang lainnya. Memangnya ada apa kak ? Kakak mau ikut bareng aku ?” Canda ku kemudian

“Boleh jika di izinkan.” Balasnya bercanda

“Ia sangat boleh kak, ntar disana aku bisa kenalin kakak sama umi ku.” Batinku

“de. Kakak sudah tahu semuanya dari Mita.” Kata reza datar

“maksud kakak apa ?” tanya ku tak mengerti

Sekalipun cinta telah ku uraikan dan ku jelaskan panjang lebar.

Namun jika cinta ku datangi, aku jadi malu pada keterangan ku sendiri.

Meskipun lidahku tlah mampu menguraikan, namun tanpa lidah cinta ternyata lebih terang

Sementara pena begitu tergesa-gesa menuliskannya.

Kata-kata pecah berkeping-keping begitu sampai kepada cinta.

Dalam menguraikan cinta akal terbaring tak berdaya.

Bagaikan keledai terbaring dalam lumpur

Cinta sendirilah yang menguraikan cinta dan percintaan.

“itu kan puisinya Anna di serial KCB ?” Tebakku tepat

“iyah.. ade betul, sesungguhnya puisi inilah yang mendorong kakak untuk menelpon mu.”

Aku terdiam sejenak. Jantungku tiba-tiba berdegup sangat cepat ketika mendengarnya.

“De.. kakak tahu bahwa kau mencintaiku. Sebelum kakak tahu dari Mita, kakak pun sudah merasakannya. Namun kakak malu. Kakak berusaha menyembunyikannya dan menyerahkannya kepada Allah saja. Alhamdulillah kemarin kakak bertemu dengan Mita disebuah Pusat perbelanjaan. Dan disana Allah menjawab doa kakak melalui Mita. Mita menceritakan kepada kakak bahwa kau ingin seorang suami seperti kakak. Dan sejujurnya kakak pun menginginkan istri sholehah seperti mu. Namun kakak tak mampu mengungkapkannya. Selama ini kakak hanya berdoa pada-Nya agar memberikan petunjuk pada kakak. Dan setelah Dia memberi petunjuk barulah kakak akan mengungkapkannya padamu. Meski itu baik atau buruk. Malam inilah kakak akan beri tahu semuanya kepada ade.” Katanya panjang lebar

“de.. apa ade masih mendengarkan kakak ?” tanya kemudian

“iya kak ?”

“Kakak ingin melamar mu besok.” Katanya tegas

Tiba-tiba air mata ku tumpah. Aku tak kuasa mendengar apa yang dia katakan. Aku hanya mampu berucap beribu syukur pada sang Rabbul Izzati.

“de.. bagaimana ? Maukah kau menjadi Istri ku di dunia dan akhirat ?” tannyanya kemudian

“kak.. Bukankah kakak sudah mempunyai seseorang yang kakak suka ?” kataku

“Lia Ambarwati maksud kamu de ?” tanyanya

Aku hanya bergumam menjawab pertanyaannya.

“Sesungguhnya aku hanya mencintai seorang saja dari dulu hingga sekarang yaitu Annisa Bin Hamzah.”

Seketika itu tangisku pun pecah. Aku tak mampu lagi menahan derasnya air mata ini.

“Jika memang kakak mencintaiku, maka datanglah pada umi dan abiku besok.”

“Baiklah de.. besok kakak akan datang dan melamar mu. Malam ini kita serahkan saja semuanya kepada ALLAH.” Katanya kemudian.

Akhirnya kami mengakhiri pembicaraan kami malam itu. Aku masih tak percaya dengan kejadian yang barusan aku alami. Aku kemudian menutup malam penuh tanya ini dengan bertasbih kepadaNYA.

***

Aku sibak korden yang menutupi jendelaku kala itu. aku buka jendela kos-kosan ku lebar-lebar. Aku berdiri dan menghirup udara Semarang untuk yang terakhir kalinya. Aku merasakan betapa nikmat udara itu masuk melewati urat nadi ku bersama aliran darahku. Betapa banyak tanda-tanda kekuasaan Allah bagi mereka yang berpikir. Aku pejamkan mataku agar merasa lebih hikmat lagi. cukup lama aku berdiri di depan jendelaku, sampai-sampai aku tersadar oleh adzan Subuh yang sudah berkumandang dari menara mesjid yang ada di depan kos-kosan ku itu. aku kemudian bersegera untuk mengambil wudhu. Tiba-tiba handphone ku berdering. Aku segera mengambilnya yang sedang ku letakkan diatas tempat tidurku itu. Sebuah SMS yang barusan masuk.

Assalammualaikum, De.. Hari ini berangkat jam berapa ?

Walaikumsalam, Jam 9 kak. Balasku singkat.

Tak lama kemudian SMS darinya masuk kembali.

De.. hari ini.. kakak ga bisa berangkat karena suatu hal.. Jadi kakak mohon maaf tidak dapat bertemu dengan orang tua ade hari ini. kakak usahakan urusan kakak selesai hari ini, dan dapat berangkat besok. Insya Allah.

“iya.. nggak apa-apa kak.. selesaikan saja dulu urusan kakak. Aku tunggu ya.” Jawabku kemudian.

***

“Assalammualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Aku berlari menuju sosok yang sudah sangat aku rindukan selama 4 tahun. Air mataku meluap hebat ketika aku memeluknya sangat erat. Ia pun melakukan hal yang sama. Aku biarkan ia melakukan hal yang ia inginkan saat itu padaku. satu hari penuh aku bersama mereka. Dari mulai bagi-bagi oleh-oleh hingga makan-makan sama keluarga kami lalui saat itu. kini sesudah sholat maghrib aku segera masuk kamar dan ingin beristirahat. Tiba-tiba umi ku muncul dari balik pintu ku. aku tersenyum melihat wajahnya yang berseri dan sangat merindukan.

“mau tidur sayang ?” tanya Umi ku sambil duduk disamping tempat tidurku.

“belum Umi ? jawabku sambil membetulkan dudukku

“Mungkin umi terlalu cepat menanyakan hal ini padamu. Umi sudah sangat tidak sabar ingin bertemu dengan menantu Umi.” Kata umi ku detail.

“maafkan Nisa umi, Hari ini dia tidak bisa berangkat bersama Nisa karena ada hal mendadak yang harus dia selesaikan. Umi sabar yah, dia bilang jika urusannya sudah selesai, dia akan segera menyusul Nisa.” Kataku kemudian.

“Umi lega mendengarnya. Oh.. ya.. dia itu seperti apa sayang ?” tanya umi ku dengan senyum nakal dan menggodaku.

“dia Ituuuuu….., rahasia..” aku balas menggoda sambil nyengir kuda.

Akhirnya kami tutup malam itu dengan tawa penuh tanda tanya.

Apakah dia akan datang besok atau tidak ???

Saat tengah malam selepas sholat Isya aku menerima sebuah SMS :

De…. Besok kakak berangkat bersama orang tua kakak untuk melamarmu ?

Aku hanya bisa menangis saat membaca SMS itu. tanganku tak mampu untuk menjawab “ya” saat itu. aku biarkan SMS itu lama tak terjawab. Hingga akhirnya dia menelponku.

“Assalammualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

“De.. SMS kakak masuk ?”

“Iyah.. masuk kak.”

“Sudah dibaca ? dan bagaimana jawabannya ?”

“saya siap kak.”

“Alhamdulillah. Doakan perjalanan kakak lancar ya de..”

“Aamiin..”

Tanpa basa-basi yang panjang, kami mengakhiri pembicaraan saat itu. aku segera keluar kamar dan mengetuk pintu kamar umi ku. awalnya aku tidak tega membangunkannya tengah malam sperti ini. tapi apa boleh buat, aku tak ingin semuanya serba terburu-buru besok.

Aku berhenti di depan pintu kamar Umi ku. aku mendengar umi sedang mengaji.

“ternyata aku tidak perlu membangunkan Umi.” Batinku.

Aku mengetuk dan segera masuk. Umi ku Nampak heran dengan kehadiranku.

“Nisa ? ada apa sayang ?” tanyanya sambil menutup Al Quran yang ia baca.

“Umi.. Nisa sangat bahagia.” Kataku sambil memeluk Umi ku.

“iyah.. ada apa sayang ?”

“Besok Nisa akan dilamar.” Kataku sambil menatap wajah Umiku. Kami berdua melepaskan rasa bahagia itu dengan bersujud pada- Nya bersama pada malam itu.

Faabi ayyii a’la irobbiquma tukadziban.

KETIKA JEMBATANKU RUNTUH (26 November 2011 )

Matahari sore akan segera hilang keperaduannya. Aku dan keluarga ku sudah siap menunggu kedatangan Reza. Informasi terakhir yang aku terima perihal keberadaannya bahwa ia sudah berada di kota Samarinda. Dan hanya tinggal melewati Jembatan Tenggarong saja, maka perjalanannya akan segera berakhir.

Perasaanku tiba-tiba menjadi tak karuan. Gelisah. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh yang sangat hebat. Suara itu seperti pesawat yang jatuh di depan rumahku. Aku dan keluarga yang sedang bersiap menanti kedatangan Reza segera berlari keluar. Dan apa yang kami lihat sangat membuat perasaan kami berguncang hebat.

Jembatan kebanggaan warga Tenggarong itu Runtuh. Dalam hitugan detik saja puluhan kendaraan yang melintas di atasnya terjun bebas ke dalam Sungai Mahakam itu. aku juga melihat sebuah Bis masuk ke dalamnya. Tiba-tiba aku teringat pada Reza. Apakah Reza termasuk kedalam korban jembatan itu. aku menangis sejadi-jadinya. Aku menangis dalam pelukan Umi ku sambil menyebut namanya. Umi ku berusaha menenangkanku. Ia berusaha meyakinkanku bahwa Reza masih dalam lindungan Allah. Aku ikut mengamini doa yang Umi ku panjatkan. Setelah satu jam kejadian itu berlalu. Aku sudah bisa tenang. Hanya saja kabar tentang Reza kembali membuat ku gelisah. Ia sama sekali tak bisa dihubungi. Aku hanya bisa pasrah dan terus berdoa.

“Ya Allah.. Izinkanlah aku agar dapat bertemu dengannya.” Pintaku tulus saat itu.

Sesaat setelah sholat magrib, aku mencoba kembali menghubungi Reza. Dan Alhamdulillah telpon ku nyambung. Namun tak ada jawaban. Aku terus mencoba sampai telpon itu dijawab. Bagaimanapun usaha ku sia-sia. Sudah puluhan kali aku mencobanya, tetapi tak satupun telpon ku terjawab. Akhirnya aku kembali pasrah penuh harap dengan linangan air mata. Aku kembali berdoa pada-Nya :

“Ya Allah, jika memang ia jodohku maka mudahkanlah jalan kami untuk bertemu, tetapi jika dia bukan jodohku maka jauhkanlah dia dariku dan gantilah dia dengan yang lebih baik lagi. Sesungguhnya Engkaulah yang maha mengetahuinya.” Doaku dengan penuh harap.

Aku terbangun dari tidurku ketika aku bermimpi tentang jembatan itu. aku lirik jam dinding yang tergantung. Tepat pukul 03 dini hari. Aku mengambil Handphone yang ada disampingku. Aku melihat ada 2 panggilan tak terjawab. Aku bertanya-tanya tentang siapa yang menelpon ku itu. aku kemudian segera menghubungi balik. Besar harapanku yang menelpon itu adalah Reza.

Tak lama kemudian telponku terjawab. Terdengar suara lelaki yang tak asing lagi ketika ia menjawab salamku.

“maaf.. ini kak Reza ?” tanya ku penasaran

“iya.. de.. ini kakak.. maaf tidak sempat menghubungimu, karena handphone kakak hilang saat membantu korban kecelakaan jembatan itu.”

“Alhamdulillah.. berarti kakak dan keluarga selamat.” Tanyaku kemudian

“iya de.. Allah masih melindungi kami. sekarang kakak sedang ada di penginapan dekat jembatan ini. dan Insya Allah besok kakak akan melamar mu.” Katanya kemudian.

Kini tepat 2 minggu setelah kejadian itu, tepatnya tanggal 10 Desember 2011 kami menyatukan hati kami untuk meraih ridhonya. Aku kembali teringat begitu panjangnya perjalanan cinta kami hingga akhirnya kami mampu menjadi sepasang suami istri yang akan meraih ridho Illahi bersama.

***