Gampang…
Sebuah ungkapan yang terkesan menganggap mudah tatkala saya mulai berpikir untuk mencari pasangan hidup. Bagaimana tidak gampang, bayangan saya waktu itu adalah dalam pencarian jodoh saya akan berjalan mulus karena jumlah akhwat lebih banyak dibandingkan ikhwan. Dengan asumsi ini jelas akan menguntungkan saya dan para ikhwan untuk merasa perlu membuat criteria disamping criteria shalehah tentunya.
Maksudnya shalehah saja tidak cukup tentunya, harus ada tambahan lain dan hmmm, jadilah cantik dan smart jadi criteria berikutnya bagi saya. Ini sangatlah penting bagi saya, karena ada begitu banyak wanita cantik, tetapi ketika tidak smart maka sama dengan tidak cantik. Atau smart tapi tidak cantik juga kurang cocok. Cantik tidak harus cantik secara fisik, tapi ketika seorang wanita harus memiliki kecantikan yang datang dari dalam hati dan memancar dalam tingkah lakunya maka akan memiliki pesona sendiri, dan ini juga termasuk cantik.
Kemudian saya kembali merenung dan menemukan criteria berikutnya adalah tangguh. Wanita tangguh muncul dibenak saya dengan asumsi hidup dalam komitmen berislam yang tinggi tentulah tidak mudah.Dengan kata lain saya tidak menginginkan wanita yang cengeng, manja, apalagi tidak mandiri.
Terus apalagi ya ? entah mengapa tiba-tiba muncul criteria harus orang Aceh. Kriteria ini muncul karena saya orang Aceh dan ingin saja menjaga etnis Aceh agar jangan sampai punah.
Shalehah, cantik, smart, tangguh, dan orang Aceh adalah menjadi syarat yang saya ajukan. Promoter saya jadi geleng-geleng kepala dam sempat berkomentar bahwa criteria-criteria saya semua berbau duniawi. Saya hanya tersenyum dan menyatakan tidaka ada salahnya mencoba.
Lalu mulailah proses pencarian jodoh saya. Satu per satu biodata dan foto calon diajukan ke saya. Entah mengapa selalu saja ada yang kurang di sana-sini menurut saya. Ya kurang cantik meskipun sudah smart. Cantik tapi sering kurang nyambung jika diajak diskusi juga kurang pas. Ada lagi cantik, smart, dan sudah bekerja yang menunjukkan kemandirian, tapi bukan orang Aceh.
“ada lagi nggak ?” tanya saya ke promoter, ia hanya tersenyum dan menyerahkan data yang lain.
“baik, saya pelajari dulu,” saya masih bersemangat.
Setelah saya rasa cukup hingga akhirnya saya bersedia untuk diproses dengan data berikutnya. Semuanya seperti yang saya perkirakan diawal perkenalan kami berjalan lancar. Semua criteria saya ada pada sosok tersebut. Calonnya juga sudah oke. Namun masalah justru muncul dari orangtuanya yang menginginkan menantu seorang PNS. Tentu saja saya agak terpukul. Apalagi tampaknya sang calon tidak begitu memperjuangkan saya di depan orang tuanya sebagai laki-laki yang siap bertanggung jawab. Ia lebih memilih untuk menerima begitu saja keputusan orang tuanya.
Saya berpikir dan merenung. Ternyata akhwat pun dapat menolak saya. Dari mulai wajah yang es-te-de alias standar gitu. Kuliah nggak kelar-kelar, kerja nggak tetap, bukan orang yang terlalu smart,puasa senin kamis juga masih kembang-kempis, penampilan nggak rapi, kendaraan masih roda dua, doa juga masih kurang optimal, de-el-el lah pokoknya.
Saya kembali menata hari saya dan kembali mengumpulkan serpihan hati, mereview kembali criteria-kriteria itu dan memompa semangat untuk menemukan calon dengan memasang tampang ceria menghadap sang promoter agar diberikan kesempatan lagi.
“kriterianya dikemanakan Alfin ?” tanya sang promoter menggodaku.
“tetap.” Jawab saya nakal dan tersenyum.
Dan pencarian itu tetap tidak memakan waktu yang lama. Bahkan terbilang lancar. Semua criteria sangat pas dengan calon yang satu ini. masa ta’aruf pun berjalan lancar. Semuanya sangat cocok. Harapan pun ada saat perbincangan dengan orang tuanya. Mereka menerima saya, bahkan sudah menentukan jadwal akadnya. Usai silaturrahim malam itu, hati saya membuncah. Semua rencana melayang-layang dipikiran saya.
Namun kegembiraan itu seketika sirna , saat matahari pagi 26 Desember 2004 menyapa, bumi berguncang, dan badai gelombang Tsunami melumpuhkan tubuh saya. Kebahagian semalam yang saya dambakan hanyut dan meluap entah kemana. Saat itu kesadaran saya sepenuhnya pulih, tatkala akhirnya sebatang pohon mangga yang besar mampu menahan tubuh saya yang diselimuti oleh lumpur. Saya berhasil memanjat salah satu dahannya dan menyaksikan kehancuran yang luar biasa. Mayat-mayat bergelimpangan dimana-mana seiring dengan naik-surutnya air laut. Lalu pikiran saya melayang pada keluarga dan hal-hal yang belum saya lakukan.
Ya menikah !! saya belum menikah !
Saya berdoa dengan sepenuh jiwa, melenyapkan ukuran duniawi yang selama ini menguasai. Kriteria-kriteria itu berubah. Saya hanya berharap jika hari ini bukanlah hari kiamat, minta agar diberikan kesempatan memiliki keturunan dari seorang wanita shalehah siapa pun dia. Seketika itu saya teringat oleh kejadian tadi malam. Bagaimana kondisi calon saya ? melihat kondisi sekeliling, kecil kemungkinan mereka selamat. Saya hanya bermohon dan mendoakannya.
“ Ya Allah.. berikan aku kesempatan untuk banyak hal.” Pinta saya tulus.
Betapa tersanjungnya saya, ternyata Allah menjawab doa-doa saya. Dengan mudahnya kembali menuntun saya bertemu dengan calon belahan jiwa saya. Ternyata mereka sekeluarga selamat dari badai Tsunami kala itu. akhirnya setelah 4 bulan sesudah Tsunami. Tepatnya 15 April 2005, kami bersatu dalam rahmat Allah. Saat itu saya jadi teringat pada empat bulan sebelumnya, diatas pohon mangga saya sudah mendoakannya agar diterima di sisi-Nya. Saya pun kembali tersenyum.
Ternyata, it’s hard to find my soulmate.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar