Ayahku waria
“woi… buka pintunya…! Woi…! Kalian dengar ga sih…! Kalian tuli apahh..!! woi…!” ( dalam keadaan mabuk dan terus mengeedor pintu). Aku terkejut mendengar suara keras itu. aku bangun dan beranjak dari tempat tidurku dan penasaran ingin melihat keadaan di luar. Aku hanya mengintip di balik pintu kamar ku. ku lihat ibu sedang berjalan untuk membuka ppintu yang sedari tadi digedor itu.
“astagfirullah nak.. kamu mabuk lagi ?”
“bukan urusan loh tua Bangka..! minggir..!
Ibuku terjatuh karena dorongan kakak. Sejak kakak berhenti dari kuliahnya ia menjadi sering pulang malam dan sering mabuk. Kakak harus berhenti kuliah karena orang tuaku tidak mempunyai biaya untuk membayar semua uang kuliah kakak. Kakak malu kepada teman-temannya karena ia miskin. Ibuku hanya seorang buruh cuci di daerah tempat kami tinggal. Sedangkan ayah bekerja hanya pada malam hari dan kami tidak pernah tahu apa yang menjadi kerjaan ayah, karena ayah tak pernah memberitahukannya. Kadang ayah bisa kerja semalam suntuk dan baru pulang pagi. Aku sangat salut pada ibuku karena bisa tabah dengan keadaan yang dihadapinya. Mempunyai suami yang kerjaannya pada malam hari dan pulang pagi harinya serta seorang anak laki-laki yang tidak pernah lagi menyayanginya dan suka mabuk-mabukkan. Ini adalah cobaan bagi ibuku. Belum lagi dengan ku. karena fisik yang kurang sempurna ibu harus menerima cacian serta makian sebagai makanan sehari-harinya. Namun kesabaran ibuku mampu menegarkan dirinya dari bala ujian yang tak kunjung reda ini. terkadang aku ingin sekali bertemu dengan Tuhanku dan berlutut kepadanya. Aku ingin Dia menjadikan aku orang yang berguna di dalam keluargaku. Tapi apalah dayaku, aku hanya seorang gadis 19 tahun yang menderita tuna wicara.
Aku masih mengintip dari balik pintu. Tak lama kemudian kakak keluar dan menggenggam uang di tangan kanannya. Ibu yang masih terduduk di dekat pintu segera berdiri untuk menghentikan aksi kakak yang membawa uang simpanan ibu untuk biaya makan kami sehari-hari.
“indra…berhenti nak.. mau kemana lagi kamu nak ? ini dsudah malam. Ibu mohon sayang jangan pergi lagi dan ibu mohon kamu jangan bawa uang itu. itu uang untuk makan kita sayang.” Pinta ibu sambil menangis. Aku tak tega melihat semua yang ada dihadapanku. Ibu harus memohon bahkan berlutut kepada kakak. Ibu yang memegang celan jeans kakak di tendangnya sehingga ibu terlempar dan kepalanya mengenai lantai. Kepala ibu berdarah akibat benturan keras itu. aku dengan spontan berlari kearah ibu dan membantunya untuk duduk. Ibu terus memegang kepalanya yang keluar darah. Aku hanya bisa menangis saat itu. kakak tak peduli dengan keadaan ibu. Bahkan ia tega mengucapkan kata-kata yang tak pantas untuk diucapkan oleh seorang anak pada ibunya. Aku kesal sekali melihat perilaku kakak. Aku ingin sekali memakinya. Tapi aku sadar akan keterbatasanku. Aku berharap semoga ALLAH membalas semua kejahatannya. Setelah kakak pergi aku membawa ibu ke kamar dan segera mengobati lukanya. Tak lama setelah ibu aku obati , ia tertidur. Aku juga merasa ngantuk. Aku lirik jam dinding di kamar ibu. Jam itu menunjukkan pukul 03.00 pagi. Bersamaan saat aku keluar dari kamar ibu, pintu rumah kami diketuk. Aku tak berani membukanya. Lama aku berdiri didepan kamar ibu dan hanya mendengarkan suara ketukan itu. akhirnya orang diluar berteriak untuk dibukakan. Dari suaranya aku tahu bahwa dia adalah ayah. Aku segera membukakan pintu untuk ayah. Ketika ayah melihatku ia kaget sekali.
“kenapa kamu belum tidur sayang ?” tanyanya lembut
Aku menjawabnya dengan bahasa isyarat. Aku katakan bahwa aku baru saja mengobati ibu yang terluka. Ayahku kaget mengetahuinya. Ayahku segera masuk dan langsung menemui ibu. Setelah aku menutup pintu aku kembali ke kamar ku dan menutup mataku untuk semua kejadian keji malam itu.
Keesokan harinya
Saat aku terbangun aku hanya melihat ibu yang sedang membersihkan rumah. Aku segera menghampiri ibuku.
“eh.. anak ibu sudah bangun.” Katanya manis.
Aku tersenyum sebentar pada ibu dan mengatakan dengan bahasa isyarat bahwa aku ingin membantu ibu karena ibu masih sakit dibagian kepalanya. Dengan kasih sayangnya ibuku bilang bahwa aku tidak perlu membantunya. Dan ibuku juga bilang bahwa ia sangat berterimakasih pada tuhan karena telah mengirimkan seorang malaikat kecil yang baik hati yang mau menemani hidupnya hingga usianya yang tidak muda lagi. aku terharu mendengar apa yang ibu katakan. Aku langsung memeluk ibu sebagai tanda sayangku padanya. Belum lama aku merasakan peluk hangat, datanglah segerombolan pemuda seusia kakak. Mereka masuk kedalam rumah dan berteriak memanggil kakakku. Seketika itu aku dan ibu langsung keluardari dapur dan menemui mereka. Aku melihat amarah besar berkecamuk dalam diri mereka. Mereka berjumlah 5 orang. Pakaian mereka seperti preman yang mengerikan. Mereka terus berteriak. Sesekali mereka menendang apa yang ada didekat mereka. Aku dan ibu tak dapat berbuat banyak karena ayahku juga sedang tidur. ibuku mencoba berbicara pada mereka tapi tidak berhasil. Mereka terus menghancurkan perabot rumah kami. rupanya keributan itu membangunkan ayahku yang sedang tidur. ia segera keluar. Ia kaget melihat aku dan ibu sedang menangis dan beberapa perabot rumah rusak. Ayah sangat marah sekali pada kumpulan preman yang sedang mencari-cari kakak itu.
“pergi kalian..! seenaknya saja masuk rumah orang dan menghancurkannya..!” bentak ayahku.
“hahahahahahahhahahahah” mereka tertawa senang.
“hebat.. seorang banci bisa marah juga.. hahahaha.” Kata seorang dari mereka. Aku dan ibu kaget mendengar apa yang diucapkannya. Tapi kami hanya bisa diam dan menangis karena takut.
“apa maksudmu hah..!” Tanya ayah marah.
“mas.. mas..,om..om.. godain kita dong..?” kata salah satu dari mereka sambil menirukan gaya banci.
“masih belum ngerti juga pak ?” lanjut mereka. Lalu terdengar lagi suara tawa mereka yang keras. Aku pandang raut wajah ayah. Aku mengerti ayah sedang marah juga malu akibat olokan para preman itu.
“begini ya om.. kami kesini mau cari indra. Dia harus menepati janjinya untuk membayar hutangnya pada kami hari ini”. Kata pimpinan preman itu.
“hutang.. hutang apa ?! kami tidak ada uang untuk membayarkan hutang indra dan indra tidak ada di rumah ini sekarang kalian pergi dan tagih saja hutangnya pada indra sendiri, kami tidak mau membayarkannya..!” kata ayahku membentak mereka. Entah apa yang mereka inginkan. Mereka tetap saja tidak mau pergi dari rumah kami. aku lihat ibu terus menangis dan ketakutan. Aku pun tak tahan dengan keributan ini. Aku lepaskan tangan ibu yang memelukku dan berlari keluar. Ibu berteriak memanggilku tapi aku sudah berlari meninggalkan rumah. Setelah aku mengumpulkan warga dan meminta mereka untuk membantuku, aku membawa mereka ke rumahku. Para preman, ayah juga ibu tak menduga aku datang dengan puluhan warga yang akan membantu untuk mengusir preman itu dari rumah kami. akhirnya dengan bantuan mereka, tak butuh waktu lama untuk menyudahi keributan di rumah kami saat itu. setelah preman itu pergi ayah dan ibuku mengucapkan terimakasih pada para tetangga yang sudah membantu. Aku pun juga mengucapkan terimakasih dengan bahasa isyarat. Setelah para tetangga pergi ayah juga ibu menghampiriku dan memelukku erat. Mereka juga mencium ku dengan penuh kasih dan sayang. Aku mengajak mereka untuk duduk di dalam dan aku segera ke dapur untuk membuat the hangat untuk menghangatkan suasana yang sempat dingin beberapa menit lalu.
“ayah..ibu ingin ayah jujur pada ibu.”
“soal apa bu.?”
“apa maksud mereka mengatai ayah itu banci ? apa ayah memang seorang banci ? apa ayah bekerja sebagai banci ? maaf ayah kalau ibu lancang berkata seperti ini. Selama ini ayah tidak pernah memberi tahu ibu apa pekerjaan ayah di malam hari. Ayah juga sering pulang pagi. Ayah ibu mohon ayah jujur pada ibu ?” kata ibu tegas pada ayah. Aku menjatuhkan gelas berisi teh yang kubawa ketika aku mendengar pernyataan ibu yang menduga bahwa ayah adalah waria. Mereka kaget mendengar suara pecahan gelas itu dan segera menghampiriku.
“ada apa sukma ?” Tanya ibu.
Aku katakan pada mereka bahwa aku terpeleset.
“lain kali hati-hati ya sayang. Sekarang masuklah ke dalam.” Kata ayah padaku. aku mengangguk dan pergi. Di dalam kamar aku berpikir tentang ucapan ibu bersama ayah tadi. “apakah benar ayahku selama ini seorang waria” pikirku. Jika benar ayah seorang waria maka selama ini benar yang dikatakan kakak dan tetangga saat mereka mencaci ibu. Aku terus menangis di kamar. Aku seakan tak menerima takdir bahwa ayah bekerja sebagai waria. Hingga malam tiba aku masih di kamar. Ibu dan ayahku sudah memksaku untuk keluar tapi aku berpura-pura sedang tidur. aku berniat untuk mengikuti ayah malam ini. Aku ingin tahu kebenaran yang sesungguhnya. Ketika ayah sudah beranjak kerja, aku mengikutinya dari belakang. Ibu tak mengetahui niat ku ini karena aku keluar lewat jendela kamar ku. aku berjalan perlahan di belakang ayah agar ayah tak melihatku. Tak lama kemudian ayah berhenti di depan sebuah rumah yang tak berpenghuni. Aku tak tahu apa yang ayah lakukan di dalamnya. Aku hanya menunggu di luar. Sekitar lima belas menit keluar seorang wanita berambut panjang, dengan rok pendek ketat serta baju tanpa lengan. Ia juga memakai high heels 5 centi. Aku terkejut melihatnya. Bukankah sedari tadi tak ada seorang wanita yang masuk ke rumah itu. hanya ayahkulah yang masuk ke dalam rumah itu. kenyataan yang aku lihat mengiris hatiku. Aku harus mempunyai seorang ayah yang bekerja sebagai waria. Aku msih ingin tahu apa yang ayah ku lakukan selanjutnya. Aku mengikuti ayah sampai ke tempat dimana ayah biasa mangkal. Setibanya ayah disambut dengan teman-teman warianya. Mereka memanggil ayah dengan nama Santi. Aku terus memperhatikan gerak-gerik ayah. Sambil menangis aku berusaha untuk menahan diriku. Ayah kemudian berdiri di pinggir jalan dan mulai melancarkan aksinya. Ayah mulai mengahmpiri mobil-mobil yang berhenti. Disana ayah menggoda para pemilik mobil yang memang menjadi pelanggan setia para waria tersebut. Tak lama kemudian ayah masuk kedalam mobil itu. dan segera mobil itu melaju dengan cepat. Aku tak megikutinya lagi. aku pulang dan langsung masuk ke kamarku. Aku tak bisa tidur karena memikirkan itu semua. sudah hampir pagi aku masih saja belum bisa memejamkan mataku. Kudengar derak kaki seseorang di luar rumah. Aku tahu itu adalah ayah. Aku segera membukakan pintu untuk ayah. Tanpa tersenyum padanya aku langsung meninggalkannya. Aku tak ingin berbicara padanya. Keesokan paginya ketika ayah mengajakku sarapan aku tak juga berbicara padanya. Karena sikap ku ini ayahku menjadi kesal. Ia kemudian bertanya dengan suara yang keras padaku.
“sukma…! Kenapa kamu berlaku seperti anak durhaka pada ayah ?!..”
“aku tidak suka pada ayah.” Kataku
“apa maksudmu sukma ? dia ayahmu sayang.” Tegas ibuku
“dia waria.” Kataku cepat dengan gerakan tanganku.
Ibuku juga ayahku kaget. Aku perhatikan wajah ayah yang tak berdaya mengelak. Belum lagi ibu yang tak henti-hentinya bertanya pada ayah. Hingga akhirnya ayahku mengaku bahwa ia memang seorang waria. Siang adalah santo yang berstatus sebagai ayahku dan malam sebagai santi yang berstatus sebagai waria. aku malu punya ayah sepertinya. Hingga akhirnya aku jatuh sakit dan meninggal dunia tepat di hari ulang tahunku yang ke -20. Kini ibu hanya sendiri di rumah karena kakak harus mendekam di penjara sejak ia tertangkap razia polisi saat pesta narkoba bersama teman-temanya. Dari surge aku masih melihat ayahku sebagai waria jalanan yang kadang harus lari karena dikejar-kejar oleh satuan keamanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar