Pagi ini ibu mengajakku untuk mengecek
keadaanku setelah tiga hari yang lalu aku pulang dari rumah sakit. Ibu mengajakku
untuk naik bis walaupun aku sempat menyarankan untuk naik taxi saja. Namun ibu
memaksa untuk tetap naik bis. Bis itu belum datang tapi kami sudah menunggu di
halte tempat biasanya bis itu berhenti untuk menjemput penumpang. Setelah 15
menit berlalu, kepala bis itu nampak dari kejauhan. Ia berhenti tepat di depan
halte tempat kami menunggu. Aku dan ibu segera naik dan duduk bersama di kursi
yang ada di barisan paling depan.
“Assalammualaikum Safa.” Seseorang
laki-laki datang dari arah belakang dan mengucapkan salam padaku. Aku melirik
kearahnya melalui ekor mataku dan menjawab salamnya.
“Bagaimana kabarmu pagi ini ? Paman lama
sekali tak bertemu dengan kamu ?” lanjutnya kemudian. Aku hanya mengeryitkan
dahi pertanda aku bingung dengan apa yang ia bicarakan. Aku tak mengenal siapa
dia.
“Safa.. dia itu Paman Gerry, orang yang
sering Safa ceritakan ke ibu. Dia dulunya suka bertanya hal-hal tentang islam
pada Safa jika Safa naik bis saat pergi kuliah. Dua minggu yang lalu paman ini
sudah bersyahadat. Dan sekarang Safa bisa memanggilnya Paman Wahyu. Bukankah
Safa dan ibu telah menyaksikannya ?” Terang ibuku. aku masih memperlihatkan
guratan bergelombang di dahiku. Aku mencoba mengingat sosok paman ini dalam
memoriku. Namun aku tak mampu. Ibu coba menenangkan ku.
“ Apa yang sebenarnya terjadi pada Safa
bu ?” Paman menyelidik
“Lima hari yang lalu ia pingsan dijalan,
dan kepalanya terbentur keras pada aspal jalan, akibatnya Safa tidak bisa
mengingat beberapa kejadian yang pernah terjadi padanya.” Jelas ibuku sambil
sesekali melihat kearah ku yang sedang berusaha mengingat memori tentang paman
ini.
“Ibu..Ibu aku ingat siapa paman ini ?”
Ibu dan paman segera menatapku. Mereka
sedang menantikan kalimat apa yang selanjutnya keluar dari mulutku.
“Dia ini paman yang pernah membentak
Safa sesaat sebelum Safa turun dari bis ini lima hari yang lalu. Ia bukan orang
yang baik menurut Safa.” Kataku agak sinis pada paman itu
“Tidak Safa, itu bukan paman. Safa ingat
peristiwa disaat bis ini direm mendadak ?” selidiknya
Aku menggeleng pertanda tidak mengingat
kejadian itu.
“Apa Safa ingat sesaat sebelum kejadian
itu paman sedang menanyakan perihal buku yang sering dibaca oleh pemuda berbaju
putih dibelakang sana ?” terang paman Wahyu sambil menunjuk kearah pemuda yang
dimaksudnya. Aku dan ibu juga segera menoleh kebelakang untuk melihat siapa
yang dimaksud paman.
“Pak Firman.” Lirihku
“Safa mengenalnya ?” tanya ibuku cepat
“Iya bu, Safa mengenalnya karena dia
dosen bahasa Inggris Safa di kampus. Dia yang menggantikan Mr. Salim. Namun
Safa tak mengerti kejadian yang dihubungkan oleh Paman ini, pak Firman dan buku
yang dibaca olehnya karena Safa tak ingat sama sekali” Jelasku pada ibu
Sekejap suasana menjadi hening. Ibu
masih mengusap-usap bahuku untuk menenangkanku. Tiba-tiba Paman itu kembali
membuka percakapan lagi.
“Semoga Allah memberikan kesembuhan pada
Safa segera.” Ucapnya
Aku dan ibu mengamini doanya.
“ Oh ya Safa, paman yang membentak Safa
adalah sepupu paman. Namanya Bogel. Ia memang berwatak keras. Apalagi sejak
paman memutuskan memilih islam sebagai agama paman, ia menjadi semakin membenci
paman dan menjadi sosok penuh amarah seperti yang Safa lihat.” Terang paman
Wahyu sebelum ia mohon diri dari hadapan
kami karena harus mengambil uang dari penumpang.
Tak lama kemudian bis berhenti di depan
kampusku. Aku melihat pak Firman turun dari bis. Aku kemudian meminta ibu untuk
turun disini saja karena ada hal yang ingin aku bicarakan dengan pak Firman.
Ibuku tidak mengabulkan keinginanku dengan alasan memeriksa kesehatan ku lebih
penting dibanding obrolan ku yang bisa ditunda itu. Aku menuruti apa yang ibuku
katakan tanpa ada rasa kecewa sedikitpun karena penolakannya karena aku begitu
mencintainya. Ia terlihat semakin jauh dan tak terlihat lagi dari pandanganku
seiring dengan berlalunya bis ini dari kampusku.
Sepuluh menit kemudian aku dan ibu
sampai di RS. AW. Syahrani. Setibanya disana ibu langsung mengajakku keruang
dokter Yenni yang ada di lantai dua rumah sakit ini. Setelah mengetuk pintu
ruang dokter Yenni, kami dipersilahkan masuk. Seperti biasanya, kekagumanku
akan dokter yang nampak cantik karena kesolehannya dan pipi yang
kemerah-merahan seperti Aisyah ra.
“Assalammualaikum dok .” Safa ibuku
“Walaikumsalam.” Jawabnya dengan
melemparkan senyum pada kami. Ia mempersilahkan kami duduk dan mulai mencari
beberapa file riwayat penyakitku. Tak butuh waktu lama, ia kemudian kembali
duduk dihadapan kami dengan berkas itu dihadapannya. Kami mulai berbincang
sedikit mengenai keadaan ku setelah keluar dari rumah sakit tiga hari yang
lalu. Setelah mendengar beberapa pernyataan dariku, ia mulai membuka berkas ku
yang ada didepannya dan mulai menuliskan beberapa kalimat yang aku tak
mengerti.
“Apa yang terjadi dok ? Apa saya bisa
sembuh.” Tanyaku penuh harap
“Cedera ringan yang Safa derita bisa
sembuh. Namun kita serahkan semua pada Allah. Sekarang Kita harus melihat
keadaan tulang tengkorak yang mengalami benturan itu untuk mengetahui bagaimana
keadaannya sekarang.
Aku dan ibu beranjak dari temapat duduk
kami, dan mengikuti dokter Yenni dari belakang menuju ruang ronsen.
Allah..Allah.. dan Allah yang selalu ada
dalam pikiranku. Aku labuhkan semua harapanku agar aku bisa sembuh. Kecemasan
tergambar jelas di wajah ibu. Ini kecemasan kedua yang aku lihat dari ibu
setelah kecemasan pertamanya tergambar saat aku mengatakan pada ibu bahwa aku
akan menikah setelah usiaku 30 tahun. Setelah aku menyelesaikan kuliah
lanjutanku di Jepang. Namun harapan itu sirna saat ayah mulai sakit-sakitan.
Dan ibu tak ingin aku tinggalakan sendirian. Dan inilah jawaban Allah. Ia
mengingatkan aku bahwa apa yang menurutku baik belum tentu baik disisi-Nya.
Menikah lah ternyata lebih baik untukku.
Sejak saat itu aku sampaikan pada ibu bahwa aku siap menikah kapan saja bila
ada pemuda sholeh yang melamarku. Saat itu, kecemasan yang terus tergambar di
wajah ibu hilang.
Bersambung….