Rabu, 02 Januari 2013

Mahar Terindah part 4 : Pingsan

Hampir seminggu ini telpon misterius itu tak pernah menggangguku lagi. ia tak pernah datang membayang bayangi tahajjudku lagi.
“ada apa dengannya ?” pikirku sejenak sebelum aku membaca surah favoritku itu sambil menunggu waktu shubuh. Tiba-tiba pikiranku berbalik pada dosen baru yang mengajar bahasa jepang 3 hari yang lalu. Namanya Firman Sabda. Usianya baru 24 tahun. Ia sangat cerdas dibuktikan ia bisa meraih gelar doctor saat usianya yang ke 23 tahun. Setahun sebelumnya ia mengajar di luar negeri dan memutuskan untuk mengajar di Indonesia karena ibunya sering sakit-sakitan. Ia bukan orang asli Kalimantan. Ia pemuda bersuku Jawa. Kampung halamannya ada di Semarang, Jawa Tengah. Itu yang ia katakan saat perkenalan dengan kami tiga hari yang lalu. Terlintas kembali jawabannya yang membingungkanku itu dipikiranku. Aneh bila dipikirkan bis berhenti mendadak, turunnya penumpang tidak membuatnya bertanya-tanya akan apa yang terjadi.
Rasa bingungku itu aku bawa sampai aku duduk tenang didalam bis paman Gerry. Sampai-sampai aku tidak sadar bahwa ada  suara seorang laki-laki yang begitu berat menegurku. Semua lamunanku terhambur keluar jendela. Aku segera menatap kenek bis yang sudah mengulurkan tangannya di depanku untuk menagih biaya bis. Dengan segera aku membuka tasku. Kutatap posisi al-quran berwarna pink kesayanganku ku sedang dalam posisi tidak nyaman. Aku segera mengambilnya dan meletakkannya di pangkuanku kemudian mengambil uang yang sudah aku siapkan di tempat kecil di bagian dalam tas ku.
“Ini paman.” Kataku sambil menyerahkan satu lembar uang lima ribuan. Paman itu segera pergi dengan sikap dinginnya yang sama dengan satu minggu kemaren. Sebenarnya aku agak kurang senang dengan kenek baru ini. sikapnya yang tidak ramah pada penumpang sangat ia tunjukkan.  Ia sangat berbeda dengan paman Gerry.
“Kemana paman Gerry ? apakah dia sakit ?” lirihku sambil menatap Al-Quran yang ada di genggamanku yang membuat ingatanku makin kuat tentang paman Gerry yang ingin sekali tahu banyak tentang isinya.
Tiba-tiba terdengar suara orang sedang membentak. Aku terkejut saat itu, dan lamunanku kembali terhambur untuk yang kedua kalinya. Entah apa yang membuatku banyak melamun hari ini. Aku menelusur ke arah suara itu. Kudapati tatapan penuh kemarahan sang kenek kepadaku.
“heyy..! kau tidak dengar !” bentaknya sekali lagi sambil menunjuk kearah ku
Aku baru menyadari bahwa yang ia bentak adalah aku. Rupanya ia menyuruhku untuk segera turun karena aku telah sampai di tujuan. Aku tak menyadarinya karena terlalu banyak melamun. Aku coba menyikapi kemarahannya dengan sabar dan kemudian meninggalkan bis itu setelah mengucapkan maaf pada kenek yang aku tahu akrab dipanggil dengan sebutan bogel itu.
Setelah turun dari bis itu aku merasa sedikit pusing dan mual. Keringat ku mulai membasahi tubuhku. Detak jantungku terasa begitu cepat. Aku paksakan tetap berjalan walaupun perlahan. Baru beberapa langkah dari tempat ku berdiri tadi aku terjatuh. Begitu keras terhempas di aspal jalan. Sebelum aku tak sadarkan diri, aku merasakan aliran darah hangat menuruni pipiku. Begitu banyak hingga akhirnya pandanganku gelap dan aku tak tahu apa yang terjadi selanjutnya.
Dalam gelap aku melihat cahaya putih yang bersinar benderang. Cahaya itu sangat menyilaukan ku. Aku kemudian mengikuti cahaya itu. Hingga akhirnya kutemukan titik dimana cahaya itu berasal. Kudekati sumber cahaya itu. Ternyata didekatnya aku melihat seorang pemuda yang sedang membaca surah Ar-Rahman. Aku coba mendekatinya. Namun langkahku terhenti karena cahaya itu tiba-tiba lenyap dan lantunan ayat suci itu pun tak terdengar lagi. aku tak bisa melihat apapun. Keadaan disekitarku menjadi gelap. Tiba-tiba aku merasakan ada belaian lembut menyapu punggung tanganku sambil meneteskan rintikan air yang jatuh dan meresap ke dalam pori-poriku dan mengalir bersama darah menuju jantungku yang kemudian membuat aku bisa melihat sosok pemilik air mata kekuatan penuh ketulusan itu.
Aku mulai membuka mataku. Pandanganku tertuju pada sosok wanita berjilbab hijau yang sedang ada disampingku. Dia ibuku. ia mengenakan jilbab yang aku berikan saat ulang tahunnya yang ke 34 satu bulan lalu. Aku mendengar deretan kalimat pujian dan syukur yang keluar dari lisannya dengan cucuran air mata yang menetes di pipiku saat ia mencium keningku.
“Ibu.. terimakasih.” Kataku sambil tersenyum haru padanya.
“Ibu.. sudah berapa lama Safa terbaring disini ?” tanyaku sambil mengusap bulir bening yang masih tersisa di wajah ibuku
“Tiga hari sayang.” Katanya sambil mengusap ubun-ubunku yang tersembunyi dibalik jilbab orange ku.
Decit pintu kamar tempatku terbaring terdengar. Seorang dokter wanita dan dua suster yang ada di belakangnya menuju kearahku. Dokter itu sangat cantik sekali dengan jilbab putihnya. Dari kejauhan ia sudah melemparkan senyumnya yang begitu tulus pada kami.
“assalammualaikum”. Sapanya padaku dan ibu. Kami memjawab salamnya hampir bersamaan
“Bagaimana Safa keadaanmu pagi ini ?” tanya dokter itu sambil mengeluarkan stateskop dari kantong jasnya untuk memeriksaku.
“Baik dok..” kataku sambil melemparkan senyum padanya. Dokter cantik itu kemudian memperkenalkan namanya sebelum ia memeriksa keadaanku untuk membuktikan apakah aku memang dalam kondisi baik-baik saja.
Kuperhatikan wajah dokter Yenni yang memperlihatkan kekhawatirannya sesaat setelah memeriksaku. Ibuku kemudian langsung menyergapnya dengan pertannyaan perihal kondisiku. Dokter Yenni tak mengatakannya pada ibuku. Ia malah meminta ibuku untuk menemuinya diruangannya. Ia pergi setelah mengucapkan salam padaku dan menyarankanku untuk istirahat. Ibuku berjalan dibelakangnya hingga akhirnya aku hanya ditemani oleh rasa penasaran dan kekhawatiran yang berlebihan.
“Ya Allah.. apa yang sebenarnya terjadi..? apa sakit yang aku derita ?” aku membatin
Aku mencoba bangun dari tidurku. Kurasakan agak sedikit sakit dibagian kepalaku. Aku harus menggigit bibir bagian bawahku untuk menahan rasa sakit itu. Aku kemudian bertayamum. Selesainya aku segera mengambil tasku yang tergeletak di meja kecil samping tempat tidurku. Aku mencari-cari Al-Quran kesayanganku itu. Semua isi tas telah aku bolak-balik dan isinya lengkap hanya saja aku tak menemukannya. Aku tak pernah meletakkannya di tempat lain selain ditasku ini. Aku selalu membawanya dan menaruhnya dalam tasku. Aku mencoba mengingat peristiwa yang menimpaku tiga hari yang lalu. Ternyata tiga hari yang lalu, saat aku turun dari dari bis aku sedang memegang Al-Quran ku, dan saat aku jatuh terhempas ia terlepas dari genggamanku dan terlempar entah kemana.
“Ya Allah, apa aku harus kehilangan dia lagi untuk yang kedua kalinya.” Lirihku dengan rasa sedih bergejolak.
Di ruangan dokter Yenni ibuku bermuka murung. Ia mendapati kenyataan bahwa aku telah mengalami benturan keras saat terjatuh tiga hari yang lalu, dan mengakibatkan aku tak bisa mengingat beberapa kejadian yang pernah terjadi dalam hidupku.
Bersambung….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar