Hampir
seminggu ini telpon misterius itu tak pernah menggangguku lagi. ia tak pernah
datang membayang bayangi tahajjudku lagi.
“ada apa
dengannya ?” pikirku sejenak sebelum aku membaca surah favoritku itu sambil
menunggu waktu shubuh. Tiba-tiba pikiranku berbalik pada dosen baru yang
mengajar bahasa jepang 3 hari yang lalu. Namanya Firman Sabda. Usianya baru 24
tahun. Ia sangat cerdas dibuktikan ia bisa meraih gelar doctor saat usianya
yang ke 23 tahun. Setahun sebelumnya ia mengajar di luar negeri dan memutuskan
untuk mengajar di Indonesia karena ibunya sering sakit-sakitan. Ia bukan orang
asli Kalimantan. Ia pemuda bersuku Jawa. Kampung halamannya ada di Semarang,
Jawa Tengah. Itu yang ia katakan saat perkenalan dengan kami tiga hari yang
lalu. Terlintas kembali jawabannya yang membingungkanku itu dipikiranku. Aneh
bila dipikirkan bis berhenti mendadak, turunnya penumpang tidak membuatnya
bertanya-tanya akan apa yang terjadi.
Rasa bingungku
itu aku bawa sampai aku duduk tenang didalam bis paman Gerry. Sampai-sampai aku
tidak sadar bahwa ada suara seorang
laki-laki yang begitu berat menegurku. Semua lamunanku terhambur keluar
jendela. Aku segera menatap kenek bis yang sudah mengulurkan tangannya di
depanku untuk menagih biaya bis. Dengan segera aku membuka tasku. Kutatap
posisi al-quran berwarna pink kesayanganku ku sedang dalam posisi tidak nyaman.
Aku segera mengambilnya dan meletakkannya di pangkuanku kemudian mengambil uang
yang sudah aku siapkan di tempat kecil di bagian dalam tas ku.
“Ini paman.”
Kataku sambil menyerahkan satu lembar uang lima ribuan. Paman itu segera pergi
dengan sikap dinginnya yang sama dengan satu minggu kemaren. Sebenarnya aku
agak kurang senang dengan kenek baru ini. sikapnya yang tidak ramah pada
penumpang sangat ia tunjukkan. Ia sangat
berbeda dengan paman Gerry.
“Kemana paman
Gerry ? apakah dia sakit ?” lirihku sambil menatap Al-Quran yang ada di
genggamanku yang membuat ingatanku makin kuat tentang paman Gerry yang ingin
sekali tahu banyak tentang isinya.
Tiba-tiba
terdengar suara orang sedang membentak. Aku terkejut saat itu, dan lamunanku
kembali terhambur untuk yang kedua kalinya. Entah apa yang membuatku banyak
melamun hari ini. Aku menelusur ke arah suara itu. Kudapati tatapan penuh
kemarahan sang kenek kepadaku.
“heyy..! kau
tidak dengar !” bentaknya sekali lagi sambil menunjuk kearah ku
Aku baru
menyadari bahwa yang ia bentak adalah aku. Rupanya ia menyuruhku untuk segera
turun karena aku telah sampai di tujuan. Aku tak menyadarinya karena terlalu
banyak melamun. Aku coba menyikapi kemarahannya dengan sabar dan kemudian
meninggalkan bis itu setelah mengucapkan maaf pada kenek yang aku tahu akrab
dipanggil dengan sebutan bogel itu.
Setelah turun
dari bis itu aku merasa sedikit pusing dan mual. Keringat ku mulai membasahi
tubuhku. Detak jantungku terasa begitu cepat. Aku paksakan tetap berjalan
walaupun perlahan. Baru beberapa langkah dari tempat ku berdiri tadi aku
terjatuh. Begitu keras terhempas di aspal jalan. Sebelum aku tak sadarkan diri,
aku merasakan aliran darah hangat menuruni pipiku. Begitu banyak hingga
akhirnya pandanganku gelap dan aku tak tahu apa yang terjadi selanjutnya.
Dalam gelap
aku melihat cahaya putih yang bersinar benderang. Cahaya itu sangat menyilaukan
ku. Aku kemudian mengikuti cahaya itu. Hingga akhirnya kutemukan titik dimana
cahaya itu berasal. Kudekati sumber cahaya itu. Ternyata didekatnya aku melihat
seorang pemuda yang sedang membaca surah Ar-Rahman. Aku coba mendekatinya.
Namun langkahku terhenti karena cahaya itu tiba-tiba lenyap dan lantunan ayat
suci itu pun tak terdengar lagi. aku tak bisa melihat apapun. Keadaan
disekitarku menjadi gelap. Tiba-tiba aku merasakan ada belaian lembut menyapu
punggung tanganku sambil meneteskan rintikan air yang jatuh dan meresap ke
dalam pori-poriku dan mengalir bersama darah menuju jantungku yang kemudian
membuat aku bisa melihat sosok pemilik air mata kekuatan penuh ketulusan itu.
Aku mulai
membuka mataku. Pandanganku tertuju pada sosok wanita berjilbab hijau yang
sedang ada disampingku. Dia ibuku. ia mengenakan jilbab yang aku berikan saat
ulang tahunnya yang ke 34 satu bulan lalu. Aku mendengar deretan kalimat pujian
dan syukur yang keluar dari lisannya dengan cucuran air mata yang menetes di
pipiku saat ia mencium keningku.
“Ibu..
terimakasih.” Kataku sambil tersenyum haru padanya.
“Ibu.. sudah
berapa lama Safa terbaring disini ?” tanyaku sambil mengusap bulir bening yang
masih tersisa di wajah ibuku
“Tiga hari
sayang.” Katanya sambil mengusap ubun-ubunku yang tersembunyi dibalik jilbab
orange ku.
Decit pintu
kamar tempatku terbaring terdengar. Seorang dokter wanita dan dua suster yang
ada di belakangnya menuju kearahku. Dokter itu sangat cantik sekali dengan
jilbab putihnya. Dari kejauhan ia sudah melemparkan senyumnya yang begitu tulus
pada kami.
“assalammualaikum”.
Sapanya padaku dan ibu. Kami memjawab salamnya hampir bersamaan
“Bagaimana
Safa keadaanmu pagi ini ?” tanya dokter itu sambil mengeluarkan stateskop dari kantong jasnya untuk
memeriksaku.
“Baik dok..”
kataku sambil melemparkan senyum padanya. Dokter cantik itu kemudian
memperkenalkan namanya sebelum ia memeriksa keadaanku untuk membuktikan apakah
aku memang dalam kondisi baik-baik saja.
Kuperhatikan
wajah dokter Yenni yang memperlihatkan kekhawatirannya sesaat setelah
memeriksaku. Ibuku kemudian langsung menyergapnya dengan pertannyaan perihal
kondisiku. Dokter Yenni tak mengatakannya pada ibuku. Ia malah meminta ibuku
untuk menemuinya diruangannya. Ia pergi setelah mengucapkan salam padaku dan
menyarankanku untuk istirahat. Ibuku berjalan dibelakangnya hingga akhirnya aku
hanya ditemani oleh rasa penasaran dan kekhawatiran yang berlebihan.
“Ya Allah..
apa yang sebenarnya terjadi..? apa sakit yang aku derita ?” aku membatin
Aku mencoba
bangun dari tidurku. Kurasakan agak sedikit sakit dibagian kepalaku. Aku harus
menggigit bibir bagian bawahku untuk menahan rasa sakit itu. Aku kemudian
bertayamum. Selesainya aku segera mengambil tasku yang tergeletak di meja kecil
samping tempat tidurku. Aku mencari-cari Al-Quran kesayanganku itu. Semua isi
tas telah aku bolak-balik dan isinya lengkap hanya saja aku tak menemukannya.
Aku tak pernah meletakkannya di tempat lain selain ditasku ini. Aku selalu
membawanya dan menaruhnya dalam tasku. Aku mencoba mengingat peristiwa yang
menimpaku tiga hari yang lalu. Ternyata tiga hari yang lalu, saat aku turun
dari dari bis aku sedang memegang Al-Quran ku, dan saat aku jatuh terhempas ia
terlepas dari genggamanku dan terlempar entah kemana.
“Ya Allah, apa
aku harus kehilangan dia lagi untuk yang kedua kalinya.” Lirihku dengan rasa
sedih bergejolak.
Di ruangan
dokter Yenni ibuku bermuka murung. Ia mendapati kenyataan bahwa aku telah mengalami
benturan keras saat terjatuh tiga hari yang lalu, dan mengakibatkan aku tak
bisa mengingat beberapa kejadian yang pernah terjadi dalam hidupku.
Bersambung….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar