Jumat, 04 Januari 2013

Mahar Terindah Part 5 : Wahyu dan Bogel





Pagi ini ibu mengajakku untuk mengecek keadaanku setelah tiga hari yang lalu aku pulang dari rumah sakit. Ibu mengajakku untuk naik bis walaupun aku sempat menyarankan untuk naik taxi saja. Namun ibu memaksa untuk tetap naik bis. Bis itu belum datang tapi kami sudah menunggu di halte tempat biasanya bis itu berhenti untuk menjemput penumpang. Setelah 15 menit berlalu, kepala bis itu nampak dari kejauhan. Ia berhenti tepat di depan halte tempat kami menunggu. Aku dan ibu segera naik dan duduk bersama di kursi yang ada di barisan paling depan.
“Assalammualaikum Safa.” Seseorang laki-laki datang dari arah belakang dan mengucapkan salam padaku. Aku melirik kearahnya melalui ekor mataku dan menjawab salamnya.
“Bagaimana kabarmu pagi ini ? Paman lama sekali tak bertemu dengan kamu ?” lanjutnya kemudian. Aku hanya mengeryitkan dahi pertanda aku bingung dengan apa yang ia bicarakan. Aku tak mengenal siapa dia.
“Safa.. dia itu Paman Gerry, orang yang sering Safa ceritakan ke ibu. Dia dulunya suka bertanya hal-hal tentang islam pada Safa jika Safa naik bis saat pergi kuliah. Dua minggu yang lalu paman ini sudah bersyahadat. Dan sekarang Safa bisa memanggilnya Paman Wahyu. Bukankah Safa dan ibu telah menyaksikannya ?” Terang ibuku. aku masih memperlihatkan guratan bergelombang di dahiku. Aku mencoba mengingat sosok paman ini dalam memoriku. Namun aku tak mampu. Ibu coba menenangkan ku.
“ Apa yang sebenarnya terjadi pada Safa bu ?” Paman menyelidik
“Lima hari yang lalu ia pingsan dijalan, dan kepalanya terbentur keras pada aspal jalan, akibatnya Safa tidak bisa mengingat beberapa kejadian yang pernah terjadi padanya.” Jelas ibuku sambil sesekali melihat kearah ku yang sedang berusaha mengingat memori tentang paman ini.
“Ibu..Ibu aku ingat siapa paman ini ?”
Ibu dan paman segera menatapku. Mereka sedang menantikan kalimat apa yang selanjutnya keluar dari mulutku.
“Dia ini paman yang pernah membentak Safa sesaat sebelum Safa turun dari bis ini lima hari yang lalu. Ia bukan orang yang baik menurut Safa.” Kataku agak sinis pada paman itu
“Tidak Safa, itu bukan paman. Safa ingat peristiwa disaat bis ini direm mendadak ?” selidiknya
Aku menggeleng pertanda tidak mengingat kejadian itu.
“Apa Safa ingat sesaat sebelum kejadian itu paman sedang menanyakan perihal buku yang sering dibaca oleh pemuda berbaju putih dibelakang sana ?” terang paman Wahyu sambil menunjuk kearah pemuda yang dimaksudnya. Aku dan ibu juga segera menoleh kebelakang untuk melihat siapa yang dimaksud paman.
“Pak Firman.” Lirihku
“Safa mengenalnya ?” tanya ibuku cepat
“Iya bu, Safa mengenalnya karena dia dosen bahasa Inggris Safa di kampus. Dia yang menggantikan Mr. Salim. Namun Safa tak mengerti kejadian yang dihubungkan oleh Paman ini, pak Firman dan buku yang dibaca olehnya karena Safa tak ingat sama sekali” Jelasku pada ibu
Sekejap suasana menjadi hening. Ibu masih mengusap-usap bahuku untuk menenangkanku. Tiba-tiba Paman itu kembali membuka percakapan lagi.
“Semoga Allah memberikan kesembuhan pada Safa segera.” Ucapnya
Aku dan ibu mengamini doanya.
“ Oh ya Safa, paman yang membentak Safa adalah sepupu paman. Namanya Bogel. Ia memang berwatak keras. Apalagi sejak paman memutuskan memilih islam sebagai agama paman, ia menjadi semakin membenci paman dan menjadi sosok penuh amarah seperti yang Safa lihat.” Terang paman Wahyu sebelum  ia mohon diri dari hadapan kami karena harus mengambil uang dari penumpang.
Tak lama kemudian bis berhenti di depan kampusku. Aku melihat pak Firman turun dari bis. Aku kemudian meminta ibu untuk turun disini saja karena ada hal yang ingin aku bicarakan dengan pak Firman. Ibuku tidak mengabulkan keinginanku dengan alasan memeriksa kesehatan ku lebih penting dibanding obrolan ku yang bisa ditunda itu. Aku menuruti apa yang ibuku katakan tanpa ada rasa kecewa sedikitpun karena penolakannya karena aku begitu mencintainya. Ia terlihat semakin jauh dan tak terlihat lagi dari pandanganku seiring dengan berlalunya bis ini dari kampusku.
Sepuluh menit kemudian aku dan ibu sampai di RS. AW. Syahrani. Setibanya disana ibu langsung mengajakku keruang dokter Yenni yang ada di lantai dua rumah sakit ini. Setelah mengetuk pintu ruang dokter Yenni, kami dipersilahkan masuk. Seperti biasanya, kekagumanku akan dokter yang nampak cantik karena kesolehannya dan pipi yang kemerah-merahan seperti Aisyah ra.
“Assalammualaikum dok .” Safa ibuku
“Walaikumsalam.” Jawabnya dengan melemparkan senyum pada kami. Ia mempersilahkan kami duduk dan mulai mencari beberapa file riwayat penyakitku. Tak butuh waktu lama, ia kemudian kembali duduk dihadapan kami dengan berkas itu dihadapannya. Kami mulai berbincang sedikit mengenai keadaan ku setelah keluar dari rumah sakit tiga hari yang lalu. Setelah mendengar beberapa pernyataan dariku, ia mulai membuka berkas ku yang ada didepannya dan mulai menuliskan beberapa kalimat yang aku tak mengerti.
“Apa yang terjadi dok ? Apa saya bisa sembuh.” Tanyaku penuh harap
“Cedera ringan yang Safa derita bisa sembuh. Namun kita serahkan semua pada Allah. Sekarang Kita harus melihat keadaan tulang tengkorak yang mengalami benturan itu untuk mengetahui bagaimana keadaannya sekarang.
Aku dan ibu beranjak dari temapat duduk kami, dan mengikuti dokter Yenni dari belakang menuju ruang ronsen.
Allah..Allah.. dan Allah yang selalu ada dalam pikiranku. Aku labuhkan semua harapanku agar aku bisa sembuh. Kecemasan tergambar jelas di wajah ibu. Ini kecemasan kedua yang aku lihat dari ibu setelah kecemasan pertamanya tergambar saat aku mengatakan pada ibu bahwa aku akan menikah setelah usiaku 30 tahun. Setelah aku menyelesaikan kuliah lanjutanku di Jepang. Namun harapan itu sirna saat ayah mulai sakit-sakitan. Dan ibu tak ingin aku tinggalakan sendirian. Dan inilah jawaban Allah. Ia mengingatkan aku bahwa apa yang menurutku baik belum tentu baik disisi-Nya.
Menikah lah ternyata lebih baik untukku. Sejak saat itu aku sampaikan pada ibu bahwa aku siap menikah kapan saja bila ada pemuda sholeh yang melamarku. Saat itu, kecemasan yang terus tergambar di wajah ibu hilang.

Bersambung….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar